Gejala Korupsisme Masyarakat

Kata “korupsi” yang merupakan “perkawinan” antara kata “korupsi” dan “isme” muncul sebagai bentuk ironi terhadap realitas sosial yang semakin merambah kehidupan masyarakat Indonesia.

Korupsi bukan sekedar tindakan korupsi yang bersifat sporadis, melainkan sudah menjadi suatu sistem yang terstruktur, sistematis, dan terencana.

Tindakan korupsi yang awalnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi kini seolah mendapat legitimasi sosial.

Di permukaan, banyak yang mengecamnya, namun kenyataannya ada semacam pembenaran tersembunyi bahwa itu adalah cara untuk “bertahan” dalam sistem yang ada.

Korupsi telah menjadi sebuah ideologi baru, dimana perbuatan melawan hukum tersebut tidak lagi dipandang sebagai sebuah pelanggaran, namun sebagai sebuah strategi untuk bertahan atau bahkan berkembang dalam struktur sosial dan ekonomi yang ada pada masyarakat kita saat ini.

Jadi pada titik ini, korupsi sudah melampaui batas kejahatan individu dan menjadi fenomena kolektif. Memang korupsi kemudian menjadi semacam ‘norma’ baru, dimana perbuatan melawan hukum tersebut dianggap sebagai langkah logis untuk menghadapi sistem yang korup.

Dalam konteks ini, tindakan korupsi telah menjangkiti banyak aspek kehidupan, mulai dari pemerintahan hingga dunia usaha, sehingga memunculkan budaya yang memandang korupsi sebagai jalur cepat menuju kekuasaan, kekayaan, dan kesejahteraan.

Menariknya, korupsi tidak mengenal batas saat ini. Dimana korupsi tidak lagi terbatas pada elit politik atau ekonomi, namun menyebar ke lapisan masyarakat yang lebih luas – bahkan pada lapisan masyarakat biasa tertentu.

Maraknya perilaku tersebut mungkin disebabkan oleh model pembelajaran yang terjadi secara vertikal dan horizontal di masyarakat.

Oleh karena itu, budaya korupsi yang mengakar ini menunjukkan bahwa korupsi telah menjadi bagian dari ‘desain sistem’ yang lebih besar, di mana tindakan korupsi dianggap sebagai risiko yang ‘dapat dikelola’ dan diimbangi dengan manajemen risiko yang matang.

Sementara ironisnya, meski banyak upaya pemberantasan korupsi, sistem yang membiarkan korupsi terus tumbuh dan berkembang.

Timbul pertanyaan, apakah korupsi kini sudah menjadi budaya bangsa? Apakah ini mencerminkan nilai-nilai yang kita pegang sebagai masyarakat?

Tentu saja, jawaban ini bisa jadi pahit. Sebab sejujurnya kita bisa melihat bahwa korupsi tidak hanya berakar pada praktik politik dan ekonomi saja, namun juga meramaikan nilai dan norma sosial tertentu yang berlaku.

Peristiwa korupsi ini menunjukkan kegagalan sistem pendidikan dan sosialisasi nilai-nilai yang seharusnya mendorong kejujuran dan integritas sebagai landasan dasar dalam setiap tindakan.

Padahal dampak korupsi begitu luas dan mendalam. Hal ini termasuk kerusakan moral dan terkikisnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi dan sistem yang ada.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top