Wakil Ketua KPK Sebut Revisi UU KPK Hanya Tambal Sulam jika Presiden Tak Berkomitmen Berantas Korupsi

JAKARTA, virprom.com – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengatakan perubahan Undang-Undang (UU) KPK hanya akan sia-sia jika Presiden tidak memiliki komitmen kuat dalam pemberantasan korupsi.

Pernyataan itu disampaikan Alex saat meminta jawaban atas pernyataan Ketua Komisi III DPR RI yang menyebut UU Komisi Pemberantasan Korupsi Tahun 2019 bisa diubah.

Tanpa komitmen kuat Presiden untuk memberantas korupsi, maka pengujian UU Komisi Pemberantasan Korupsi hanya akan bersifat garis besar saja, kata Alex saat dihubungi virprom.com, Rabu (6/6/2024).

Alex meminta pemerintah meniru Singapura dan Hong Kong dalam memberantas korupsi. Mereka dinilai berhasil memberantas korupsi.

Baca Juga: Wakil Ketua KPK Sepakat Kaji Ulang UU KPK

Singapura mendukung penuh Biro Investigasi Praktik Korupsi (CPIB) dan Hong Kong mendukung Komisi Independen Anti Korupsi (ICAC) untuk memberantas korupsi.

“CPIB dan ICAC selalu mendapat dukungan penuh dari pemerintah yang berkuasa,” kata Alex.

Menurut Alex, KPK juga harus berperan sebagai watchdog bagi lembaga penegak hukum lain yang menangani kasus korupsi.

Namun, menurutnya, saat ini peran unit pengawasan dan koordinasi (Korsup) di KPK belum berjalan.

“Sekarang terserah pemerintah bagaimana menjadikan KPK sebagai lembaga yang menjadi rujukan lembaga lain dalam menangani korupsi,” kata Alex.

Baca juga: PDI-P Ingin Kaji Ulang UU Komisi Pemberantasan Korupsi karena Jumlah KKN Meningkat

Sebelumnya, Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryato bernama Bambang Hokul mengatakan UU Komisi Pemberantasan Korupsi bisa diubah karena banyak keberatan dari banyak kalangan.

Pernyataan itu disampaikan Pacul dalam rapat Komisi III DPR RI dengan Dewan Pengawas (Dewas) KPK di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (5/6/2024).

“Bisa kita perbaiki karena ini tahun 2019 dan undang-undangnya sudah berumur lima tahun. Kita bisa perbaiki karena banyak juga yang mengeluh,” kata Pacul.

UU Komisi Pemberantasan Korupsi terus mendapat kritik sejak diumumkan pada 2019. Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi dinilai mengikis independensi lembaga tersebut.

Selain itu, beberapa tahun terakhir sejumlah pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi tampak terguncang dengan keputusan pengadilan atau perubahan aturan lembaga lain.

Misalnya, seorang hakim tetap Mahkamah Agung di Gazalba Saleh mengatakan bahwa jaksa penuntut Komite Genosida (KPK) tidak mempunyai kewenangan untuk mengadili terdakwa karena ia tidak memiliki surat keterangan kewenangan dari Jaksa Agung.

Bahkan, selama dua puluh tahun berdirinya, kuasa hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan tidak meminta perwakilan tersebut karena mendapat kewenangan dari pimpinan dan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi.

Selain itu, ia juga khawatir pengujian UU Polri akan mengancam independensi dewan pemberantasan korupsi. Sebab, dalam dokumen perubahan disebutkan polisi bisa memantau dan wajib meminta rekomendasi ketika instansi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempekerjakan Penyidik ​​Pelayanan Publik (PPNS). Dengarkan berita terkini dan berita pilihan langsung di ponsel Anda. Pilih saluran berita favorit Anda untuk mengakses saluran WhatsApp virprom.com: https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan Anda telah menginstal aplikasi WhatsApp.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top