Urgensi Pemulihan Reputasi KPU

Komisioner Komisi Pemilihan Umum (GEC) pada Minggu (27/7/2024) resmi melantik Mohammad Afifuddin sebagai Ketua Umum GEC periode 2022-2027.

Afifuddin sebelumnya ditunjuk sebagai Pj Ketua KPU menggantikan Hasim As’ri yang dipecat Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP).

Pengangkatan Afifuddin berdasarkan hasil rapat paripurna enam pimpinan KPU RI yang digelar pada Kamis (4/7/2024).

Sebelumnya, DKPP memecat Hasim karena melanggar etika penyelenggara pemilu. Ia dinyatakan bersalah melakukan tindakan tidak senonoh terhadap perempuan anggota PPLN Den Haag yang diprakarsai CAT.

Berdasarkan fakta persidangan, Hasim diketahui memaksa CAT berhubungan seks pada 3 Oktober 2023 di sebuah hotel di Belanda.

Pekerjaan Afifuddin sebagai Ketua KPU RI tidaklah mudah. Secara kelembagaan, Ketua KPU yang baru harus berjuang keras untuk menjamin profesionalisme dan independensi KPU terhadap aktor politik berpengaruh di segala sektor.

Sejak awal proses pemilu hingga pemilu presiden beberapa waktu lalu, KPK kerap menjadi “musuh kedua” di belakang Mahkamah Konstitusi, pendukung dan simpatisan politik yang tidak mendukung pasangan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka.

KPU kerap dianggap sebagai bagian integral dari “rancangan besar” yang membawa putra sulung Presiden Jokowi itu ke medan Pilpres 2024 dan diyakini turut berperan dalam kemenangannya bersama Prabowo Subianto.

Sikap penerimaan seperti ini sulit dilakukan karena tidak hanya bersumber dari berbagai anomali teknis di lapangan yang ditemukan lawan politik Prabowo-Gibran, namun juga karena ketidakpuasan terhadap hasil pemilu yang dilontarkan Prabowo-Gibran kepada lawan politik. Dalam posisi yang sepenuhnya “terdukung” dalam pemilu.

Sebab, menurut masyarakat luas, pemilu yang melibatkan lebih dari dua calon pada masa kampanye dan bercirikan persaingan yang sangat dinamis akan sangat sulit diselesaikan dalam satu putaran, apalagi kemenangan langsung bagi satu calon. “Gangguan” oleh tangan yang tidak berwenang.

Sikap seperti ini biasanya tidak didasarkan pada data yang akurat dan representatif, namun dipicu oleh ketidakpuasan lawan politik terhadap pandangan partai pemenang pemilu.

Memang buktinya pihak yang kalah berusaha menggunakan jalur hukum yang ada, namun bukti dan fakta yang disampaikan tidak cukup untuk menyampaikan hasil akhir perhitungan CPU.

Tentu saja, beberapa kandidat dan pendukungnya pada akhirnya harus menerima hasil tersebut, sementara yang lain memilih untuk tidak menerima hasil tersebut, sambil tetap menyimpan teori konspirasi tentang kekalahan kandidat favorit mereka.

Pada akhirnya, tidak seperti Mahkamah Konstitusi (Mahkamah Konstitusi), CPU kehilangan citra publiknya karena dianggap sebagai bagian integral dari perdebatan politik sebelum dan sesudah pemilu.

Kerusakan reputasi ini semakin bertambah berat ketika kasus mantan Ketua KPU ini terungkap ke ranah publik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top