Tubir Pengembanan Hukum

MENINJAU sederet fenomena hukum nasional – putusan Mahkamah Konstitusi tentang ambang batas pilkada, upaya pengukuhan RUU pilkada, kendala-kendala yang menghambat penyitaan RUU – terdapat fakta adanya penyimpangan dalam pembangunan. hukum kita.

Fakta-fakta yang tidak hanya tidak sehat dalam arti hukum, namun juga melukai perasaan pihak-pihak yang menginginkan keadilan.

Membayangkan perdebatan mengenai rancangan undang-undang yang sangat penting diselesaikan hanya dalam satu hari atau ditunda tanpa kejelasan adalah suatu keajaiban hukum.

Bagaimana dengan komitmen kita terhadap keterlibatan yang bermakna? Bagaimana janji kita untuk melindungi kedaulatan rakyat dari tangan penguasa?

Legislator, presiden, aparat penegak hukum, hakim dan lain-lain termasuk legislator yang mempunyai dua amanah di pundaknya.

Merumuskan, mencari dan menawarkan bantuan hukum yang ortogonal terhadap kriteria (substansi) dan prosedur (formalitas) merupakan amanat pertama (Haq, 2005).

Cara lainnya adalah dengan menarik diri semaksimal mungkin untuk memediasi kepentingan pribadi dan kelompok kepentingan (Scheppele, 2017).

Sayangnya, kedua mandat tersebut tidak dapat didukung oleh kewenangan tersebut. Artinya, tanggung jawab pemilu dan kewenangan mengubah peraturan hukum hanya digunakan untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan pengaruh.

Kesenjangan dalam penegakan hukum ini membuat kesadaran dan kepatuhan hukum tidak bisa diekstrapolasi. Kesadaran hukum dan kepatuhan merupakan dua aspek yang menonjol dalam sistem hukum Indonesia (Herliana, 2023).

Tanpa hal-hal tersebut, hukum dapat menjadi alat otoritas subjektif yang akhirnya menjadi yurisprudensi otoriter. Kesadaran hukum

Kesadaran hukum merupakan produksi kolektif dalam menghayati nilai-nilai hukum yang kita yakini kebenarannya. Keadilan, efisiensi dan kepastian hukum merupakan cita-cita hukum dan mengandung gagasan-gagasan besar.

Oleh karena itu, semua pengacara harus menginternalisasikan ide ini ke dalam inti intelektualnya. Jika tidak, inkonsistensi dan kontradiksi akan terjadi dalam pelaksanaan cita-cita hukum.

Permasalahan inilah yang muncul ketika pada upaya pengujian undang-undang pemilu daerah yang terakhir, dilakukan upaya pengujian ambang batas dan penetapan usia calon gubernur daerah yang telah diputuskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 60/PUU-XXII/2024 dan No. 70/PUU-XXII/2024.

Putusan pertama Mahkamah Konstitusi ini membuka peluang lebih luas bagi partai politik dalam menetapkan calon gubernur daerah dengan menetapkan ambang batas sebesar 6,5% hingga 10%.

Sementara itu, putusan Mahkamah Konstitusi lainnya menegaskan syarat menjadi kepala daerah harus dipenuhi sebelum memilih calon kepala daerah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top