Tren Peningkatan Kasus DBD dan Langkah Intervensi Inovatif dalam Penanggulangan DBD di Tanah Air

virprom.com – Peningkatan kasus demam berdarah dengue (DBD) sejak awal tahun 2024 di Tanah Air menjadi sorotan. Tren jumlah kasus tersebut diduga disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk dampak El Nino dan La Nina.

Seperti yang Anda ketahui, El Nino dan La Nina merupakan fenomena iklim yang tidak bisa dihindari di Indonesia sebagai negara tropis.

El Nino ditandai dengan pemanasan suhu permukaan laut (SML) secara berkala di wilayah tropis Pasifik tengah dan timur. Sedangkan La Nina justru sebaliknya. Saat La Nina terjadi, SML di Samudera Pasifik bagian tengah mengalami pendinginan pada kondisi normal

Kedua fenomena El Nino dan La Nina berdampak pada krisis kesehatan. Salah satunya adalah tren peningkatan kasus demam berdarah dengue (DBD).

Suhu yang semakin tinggi akibat El Nino membuat nyamuk Aedes aegypti semakin ganas. Pada suhu panas di atas 30 derajat Celcius, terdapat risiko frekuensi gigitan nyamuk meningkat 3-5 kali lipat.

Baca juga: Kementerian Kesehatan Sebut Fenomena El Nino Pengaruhi Tingginya Kasus DBD di Indonesia

Sementara itu, pada saat La Nina, perkembangan penyakit terhambat oleh curah hujan yang tinggi sehingga mempengaruhi penyebaran dan perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti penyebab demam berdarah.

Di Indonesia, tren kasus DBD terus meningkat sejak awal tahun 2024. Merujuk data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) per 18 Maret 2024, total kasus DBD hingga minggu ke-18 tahun 2024 mencapai 91.269 kasus. dengan 641 kematian.

Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan laporan periode yang sama tahun 2023 yakni 28.679 kasus DBD dengan 209 kematian.

Setidaknya ada lima kabupaten/kota penyumbang kasus terbanyak hingga minggu ke-17 tahun 2024, yakni Kota Bandung 3.468 kasus, Kabupaten Tangerang 2.540 kasus, Kota Bogor 1.944 kasus, Kota Kendari 1.659 kasus, dan Kabupaten Bandung Barat 1.576 kasus. kasus.

Sedangkan provinsi/kota dengan kematian DBD tertinggi pada tahun 2024 adalah Kabupaten Bandung 29 kematian, Kabupaten Jepara 21 kematian, Kota Bekasi 19 kematian, Kota Subang 18 kematian, dan Kota Kendal 17 kematian.

Baca juga: Angka DBD di Kota Malang Capai 600 Kasus, Rata-rata Usia Santri

Jumlah kasus DBD di Indonesia terus berfluktuasi setiap tahunnya. Pada tahun 2023 saja, jumlah kasus DBD akan berkurang menjadi 114.720 kasus, dari tahun sebelumnya sebanyak 143.266 kasus. Meski demikian, peningkatan drastis pada awal tahun 2024 ini menjadi peringatan bagi semua pihak untuk mempertimbangkan faktor-faktor yang dapat mengubah tren kasus DBD di Tanah Air.

Sebagai informasi, peningkatan jumlah kasus DBD pada tahun 2024 di Tanah Air akan menyebabkan sejumlah rumah sakit kewalahan menangani pasien yang sebagian besar adalah anak-anak. Misalnya, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Bogor sejak awal tahun telah merawat 259 pasien dengan keterpakaian tempat tidur sebesar 96 persen.

Selain di Bogor, tingkat keterisian tempat tidur (BOR) di RS Tamansari, Jakarta Barat (Jakbar) mencapai hampir 100 persen sepanjang pekan Maret 2024. Kenaikan BOR sebesar 80-90 persen di RS ini merupakan dampak dari kenaikan BOR. kasus demam berdarah.

Berkaca dari peningkatan jumlah kasus, perlu adanya peningkatan kesadaran dan strategi yang tepat dalam penanganan demam berdarah. Kejadian ini tidak bisa dibiarkan begitu saja karena menyangkut keamanan masyarakat di Indonesia. Melihat sejarah pula, tren peningkatan kasus DBD bukanlah yang pertama kali terjadi.

Faktanya, demam berdarah terbukti menyebabkan stres yang signifikan. Menurunnya produktivitas dan beban pendanaan

Di sisi lain, penyakit demam berdarah juga berdampak pada produktivitas, baik bagi penyintas maupun keluarga yang merawatnya.

Kekhawatiran terhadap penyakit DBD juga menambah kekhawatiran keluarga, mengingat penyakit DBD dapat mengancam nyawa dan sejauh ini belum ada pengobatan khusus untuk mengatasinya.

DBD yang dapat menular kepada siapa saja – tanpa memandang usia, tempat tinggal atau gaya hidup – juga menurunkan produktivitas pencari nafkah dalam keluarga jika ia (pencari nafkah) harus mengurus anggota keluarga yang terkena demam berdarah.

Biaya yang dikeluarkan cukup kecil jika pengobatan dilakukan di rumah sakit. Hal ini menjadi beban finansial, terutama bagi masyarakat yang tidak memiliki asuransi.

Biaya-biaya ini mencakup biaya masuk langsung dan tidak langsung, biaya rawat jalan dan biaya pendukung lainnya, termasuk transportasi.

Baca juga: Kasus DBD di Tangsel Meningkat, Terutama di Pamulang

Kasus DBD ibarat efek domino yang juga berdampak pada berbagai sektor, termasuk dunia usaha. Dalam hal ini, produktivitas pekerja dapat menurun dan perusahaan akan menanggung biaya pengobatan yang tinggi untuk menjamin kesehatan pekerja.

Negara juga menanggung beban penyakit demam berdarah. Pemerintah sendiri melalui Badan Jaminan Sosial Nasional (BPJS) setiap tahunnya harus membayar klaim pengobatan kasus DBD yang mencapai lebih dari Rp 350 miliar pada tahun 2015-2021.

Merujuk data BPJS Kesehatan seperti dilansir Kompas.id, Kamis (21/3/2024), pendanaan seluruh kasus DBD pada tahun 2023 mencapai 1,3 triliun. Jumlah tersebut meningkat dari tahun sebelumnya sebesar Rp 626 miliar.

Hal ini menunjukkan tingginya beban pendanaan pemerintah untuk pengobatan kasus demam berdarah di Indonesia. Serangkaian upaya pencegahan DBD di Indonesia

Sejak demam berdarah pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1968, pemerintah memulai berbagai upaya untuk mengendalikan demam berdarah. Saat itu, kasus DBD pertama kali ditemukan di Jakarta dan Surabaya.

Karena merupakan penyakit baru, angka kematian akibat demam berdarah masih relatif tinggi. Dari 58 kasus tersebut, 24 di antaranya meninggal dunia atau fatality rate (CFR) sebesar 41,3 persen.

Jurnal “Perubahan Epidemiologi Demam Berdarah Dengue di Indonesia” (2009) menyebutkan bahwa kasus demam berdarah mencapai puncaknya setiap 10 tahun sejak tahun 1968 hingga tahun 2008, yaitu pada tahun 1988, 1998, dan 2008.

Baca juga: Kasus DBD di Lumajang bertambah 440 orang

Peningkatan kasus DBD pertama terjadi pada tahun 1973 dengan jumlah 10.189 kasus. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1983, kasusnya menjadi 13.668. Lalu ada siklus lima tahun dimana pada tahun 1988 terdapat 41.347 kasus.

Upaya pengendalian demam berdarah dilaksanakan secara nasional sejak tahun 1970. Pada tahun 1981 digalakkan upaya pemberantasan jentik, yaitu pemusnahan jentik dengan menaburkan bubuk larvasida.

Kemudian, pada tahun 1986, operasi de-larvisida dilanjutkan, yaitu pemeriksaan tangki air, baik di dalam maupun di luar rumah dan gedung, serta pendistribusian bubuk de-larvisida.

Tak hanya itu, program fogging telah diluncurkan pada tahun 1990. Program ini dilakukan dengan metode pengendalian vektor penularan menggunakan bahan kimia untuk membunuh nyamuk dewasa dalam waktu singkat.

Ada juga kelambu 3M pada tahun 1992 dengan tirai tempat tidur. Rencana tersebut mencakup tindakan mengosongkan dan menutup tempat penampungan air, serta mengubur (3M) benda-benda bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air.

Tahun 2000 ada jam jentik (Jumantik) 3M dan komunikasi efek perilaku (Combi) tahun 2004. Begitu juga tahun 2007 ada pemberantasan sarang nyamuk dan Combi, selain satu rumah ada gerakan jumantik (G1R1J). . dipromosikan. pada tahun 2015.

Baru-baru ini, pemerintah telah menggunakan penelitian teknologi Wolbachia dan hasilnya menunjukkan penurunan kejadian demam berdarah sebesar 77 persen di wilayah intervensi (yang mendapat intervensi Wolbachia), dibandingkan dengan wilayah kontrol (tidak menerima intervensi Wolbachia) di Kota Yogyakarta.

Selain itu, berdasarkan penilaian tim penilai risiko independen yang dibentuk Kementerian Riset dan Teknologi pada tahun 2016, teknologi nyamuk Wolbachia dinyatakan memiliki tingkat risiko paling rendah terhadap manusia dan lingkungan. Perlindungan inovatif

Upaya pengendalian demam berdarah melalui program-program tersebut harus dilakukan secara berkelanjutan oleh seluruh pemangku kepentingan hingga ke akar rumput. Namun, langkah ini saja tidak cukup untuk mengatasi penyakit DBD.

Untuk memaksimalkan upaya penurunan demam berdarah, program yang ada saat ini harus dibarengi dengan perlindungan inovatif dari sektor medis. Tujuannya untuk membangun ketahanan kesehatan masyarakat dari dalam.

Baca juga: Vaksin DBD Tersedia di Indonesia, Berikut Syarat Mendapatkannya

Salah satu inovasi medis yang harus diterapkan untuk mencegah penyakit demam berdarah adalah vaksinasi demam berdarah.

Sekadar informasi, vaksin demam berdarah merupakan salah satu cara nasional Indonesia untuk mencegah penyakit demam berdarah. Vaksin ini harus diberikan kepada kelompok masyarakat berisiko tinggi, termasuk anak-anak.

Melansir Antara, Minggu (21/1/2024), data Kementerian Kesehatan tahun 2017-2022 menunjukkan angka kematian tertinggi masih terjadi pada kelompok usia 5-14 tahun, yakni sekitar 40 persen.

Di sisi lain, anak-anak rentan tertular demam berdarah karena dekat dengan populasi nyamuk Aedes aegypti. Apalagi jam aktif nyamuk bertepatan dengan jam aktif anak pada umumnya, yaitu pada siang hari dengan puncaknya pada 08:00–13:00 dan 15:00–17:00.

Baca Juga: Menggali peran vaksin Wolbachia dan inovasi teknologi untuk mengatasi kasus DBD di Tanah Air

Vaksin demam berdarah sendiri sudah tersedia di Indonesia sejak tahun 2016, namun yang saat ini tersedia di Indonesia dapat diberikan pada kelompok usia 6-45 tahun.

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) juga merekomendasikan pemberian vaksin demam berdarah pada anak usia 6 hingga 18 tahun. Pemberian vaksin pada usia 6 tahun penting dilakukan, mengingat daya tahan tubuh anak lebih baik dibandingkan anak di bawah usianya.

Sementara itu, Persatuan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) juga merekomendasikan agar orang dewasa, yakni usia 19-45 tahun, menerima vaksin demam berdarah.

Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Kerja Indonesia (PERDOKI) menyediakan pekerja di bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, pekerja di pedesaan atau merantau, dan pekerja di lokasi konstruksi.

Sekadar informasi, vaksin demam berdarah yang selama ini beredar di Indonesia adalah vaksin demam berdarah CYD-TDV. Sedangkan vaksin demam berdarah yang beredar saat ini adalah vaksin demam berdarah TAK-003. Kedua vaksin tersebut merupakan vaksin hidup yang dilemahkan yang mengandung empat jenis virus.

Tergantung pada urgensi penyakit demam berdarah dan dampaknya, pencegahan melalui vaksinasi dapat menjadi pilihan bagi masyarakat.

Bila perlu, hal ini juga dapat menjadi perhatian seluruh pemangku kepentingan, mulai dari otoritas, tenaga kesehatan, pelaku sektor kesehatan, hingga masyarakat. Selain itu, tentu saja konsistensi pelaksanaan gerakan-gerakan yang telah dicanangkan otoritas seperti 3M Plus dan G1E1JG1R1J tetap terjaga dengan baik.

Pekan Imunisasi Dunia yang diselenggarakan pada minggu terakhir bulan April setiap tahunnya, dapat dijadikan trigger bagi masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dan mengurangi stigma terkait vaksinasi.

Oleh karena itu, masyarakat diimbau untuk mempelajari penyakit demam berdarah dan pencegahan diri yang dapat memberikan perlindungan menyeluruh, baik bagi diri sendiri maupun keluarga.

Ingin mendapatkan edukasi lengkap tentang penyakit DBD/DBD, baik mengenai penyakitnya maupun upaya pencegahannya? Kunjungi www.cepatdbd.com sekarang!

 

 

C-ANPROM/ID/QDE/0501

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top