Setara Institute: RUU Penyiaran Berpotensi Perburuk Kebebasan Berekspresi melalui Pemasungan Pers

JAKARTA, virprom.com – Setara Institute menilai revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang sedang dibahas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kemungkinan besar akan melemahkan kebebasan berekspresi

Halili Hasan, Direktur Eksekutif Satara Institute, mengatakan RUU Penyiaran mengancam kebebasan pers dan informasi.

RUU Penyiaran berpotensi memperburuk situasi kebebasan berekspresi, terutama dengan membatasi kebebasan pers, kata Halili dalam keterangan tertulisnya di virprom.com, Jumat (17/5/2024).

Baca Juga: RUU Penyiaran Berantakan, Ancam Demokrasi dan Gersang Kebebasan Pers

Menurut Halili, RUU Penyiaran menegaskan adanya penyempitan ruang kota.

Laporan Indeks Hak Asasi Manusia tahunan Satara Institute menunjukkan bahwa skor indeks kebebasan berpendapat dan berekspresi berada pada titik terendah setiap tahunnya.

Skor tersebut tidak pernah mencapai skor sedang yaitu 1-7, dengan skor yang melebihi: 1,9 pada tahun 2019; 1,7 pada tahun 2020; 1,6 pada tahun 2021; 1,5 pada tahun 2022; dan 1,3 pada tahun 2023.

Halili juga mengatakan, RUU Penyiaran memuat beberapa ketentuan yang bertujuan untuk mengontrol kebebasan pers, khususnya jurnalisme investigatif melalui Pasal 50B Ayat (2) Huruf C RUU Penyiaran.

“Pasal yang melarang jurnalisme investigatif adalah upaya untuk mengurangi kontrol pemerintah.” Memang benar, salah satu pilar demokrasi modern adalah kebebasan pers, yang antara lain memberikan jurnalisme investigatif tempat untuk melakukan kontrol Pekerjaan kekuasaan dan pekerjaan pemerintah,” kata Halili.

Baca Juga: DPR, Pemerintah dorong keterlibatan masyarakat dalam pembahasan RUU Penyiaran

Halili mengatakan, konten dan produk jurnalistik harus tetap berada dalam ruang lingkup Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.

“Jurnalisme investigasi harusnya tetap sesuai dengan ketentuan UU Pers, meskipun disiarkan melalui televisi atau situs internet. Dalam kaitan itu, RUU Penyiaran sengaja melemahkan UU Pers,” ujarnya.

Selain itu, kata Halili, perluasan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagaimana tertuang dalam Pasal 8A RUU Penyiaran khusus untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran, akan menjungkirbalikkan kewenangan Dewan Pers

“Perlu ada pemahaman yang jelas mengenai perbedaan istilah dalam RUU Penyiaran. Misalnya, penggunaan istilah pembuat konten akan memiliki penafsiran yang berbeda dan berpotensi meningkatkan kontrol terhadap individu pencipta digital.” kata Halley.

Baca Juga: Lihat 7 Pasal di RUU Penyiaran Dikritik…

Sebelumnya, Dewan Pers juga telah menolak RUU Penyiaran.

Ketua Dewan Pers Nanak Raheev mengatakan penolakan tersebut karena ada pasal yang melarang media menyiarkan hasil penyelidikan.

Larangan penyiaran investigatif dipandang sebagai upaya untuk melarang pekerjaan jurnalistik profesional.

Nanak juga mengatakan, alasan lain penolakan Dewan Pers adalah RUU Penyiaran merampas kewenangan Dewan Pers untuk menyelesaikan sengketa pers.

Penyelesaian (sengketa pers) sebenarnya dilakukan oleh lembaga yang sebenarnya tidak mempunyai mandat terhadap penyelesaian tugas jurnalistik secara etis, kata Ninek dalam konferensi pers di Kantor Dewan Pers, Jakarta Pusat, Selasa (14/5). ) /2024 ). Dengarkan berita terkini dan pilihan berita kami di ponsel Anda. Pilih saluran berita favorit Anda untuk mengakses saluran WhatsApp virprom.com: https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan Anda sudah menginstal aplikasi WhatsApp.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top