Sengkarut Profesor Non-Akademisi

Kalangan sivitas akademika Perguruan Tinggi (PT) saat ini terbagi dalam tiga pandangan mengenai penggunaan atau pencantuman kata “profesor” pada nama pemegangnya sebagai gelar akademik.

Ada dua pandangan yang mengatakan bahwa jabatan akademik seorang profesor tidak boleh dimasukkan, kecuali dalam kaitannya dengan hal-hal yang bersifat akademis, karena alasan yang berbeda, yaitu “sakralisasi” dan “des-sakralisasi”. Sakralisasi versus de-sakralisasi

“Sakralisasi” karena guru besar merupakan jabatan akademik tertinggi (bukan gelar akademik) pada puncak hierarki jabatan akademik.

Status tersebut sama dengan puncak gunung yang dianggap sebagai tempat paling suci dan sakral dalam berbagai ajaran agama, tempat bersemayamnya para dewa.

Puncak gunung juga dipercaya sebagai pusat kekuasaan dan tempat suci yang menghubungkan manusia dengan dewa atau yang mempunyai kesaktian.

Sebagai puncak jabatan akademik sekaligus puncak gunung, tidak semua akademisi dan umat beragama mampu mencapainya.

Dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak ada satupun yang “mengharuskan/mengharuskan” pencantuman guru besar sebagai jabatan akademik yang menyertai gelar yang diberikan.

Artinya, seorang guru besar sebagai jabatan akademik boleh dan sah dicantumkan, namun boleh juga dan sah untuk tidak dicantumkan.

Undang-undang tersebut hanya menyebutkan bahwa seorang guru besar hanya dapat diangkat atau dimasukkan dalam jabatan akademik “sepanjang yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik pada suatu perguruan tinggi”.

Apabila yang bersangkutan sudah tidak aktif lagi mengajar PT, maka tidak diperbolehkan lagi menggunakannya.

Hal ini juga berlaku untuk jabatan akademik lainnya seperti guru, asisten ahli, guru besar, profesor madya dan/atau Permenristekdicti no. 164/M/KPT/2019 bernama dosen, asisten profesor, profesor madya, dan guru besar (profesor penuh).

Ketentuan ini berbeda untuk guru besar honorer (Permendikbudristek No. 38/2021). Daftar guru besar emeritus harus mencantumkan nama universitas yang mengangkat guru besar emeritus tersebut. Meski dalam praktiknya hal itu diabaikan.

“De-sakralisasi” karena menjadi guru besar bukanlah sebuah “status sosial” yang harus dikejar dengan cara apapun dan kemudian ditampilkan di depan publik sebagai bentuk kebanggaan.

Penempatan guru besar sebagai status sosial telah melahirkan tradisi kepemimpinan yang hanya ada, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan budaya feodal yang terus mempertegas kesenjangan antar civitas akademika (Yusuf, 2024).

Pemegang jabatan guru besar bukanlah orang yang “bebas” atau “sempurna” dari kritik dan kesalahan. Semua kebenaran, termasuk yang berasal dari para profesor, bersifat relatif dan terbuka untuk dikritik melalui “kebebasan akademis”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top