Said Abdullah Paparkan Tantangan dan Strategi Menuju Visi Indonesia Emas 2045

virprom.com – Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Bidang Perekonomian Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Said Abdullah menjelaskan banyaknya tantangan dan strategi untuk mewujudkan impian Indonesia Emas 2045.

Tantangan pertama adalah pertumbuhan ekonomi dan ketergantungan terhadap konsumsi rumah tangga.

“Saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,05 persen, sedangkan targetnya 5,7 persen,” ujarnya dalam siaran pers yang diperoleh virprom.com, Jumat (23/08/2024).

Ia mencontohkan, salah satu penyebab utamanya adalah menurunnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga dari rata-rata 5,12 persen pada 2011-2019 menjadi 4,82 persen pada triwulan II 2024.

Baca juga: Infografis: Simak Klaim Jokowi Soal Pertumbuhan Ekonomi di Kawasan Timur Indonesia

Menurutnya, jika pertumbuhan ekonomi nasional hanya bergantung pada konsumsi rumah tangga, maka akan sangat sulit mencapai target pertumbuhan ekonomi tahunan sebesar 5,7% dalam Visi Indonesia Emas 2045.

Tanpa kemajuan yang signifikan, pertumbuhan ekonomi nasional diperkirakan masih terbatas pada maksimal 5,0 persen dalam lima tahun ke depan, tambahnya.

Said mengungkapkan tantangan lainnya adalah daya beli dan volatilitas harga komoditas.

Volatilitas harga pangan dan energi kemungkinan akan mengganggu daya beli rumah tangga yang semakin meningkat setiap tahunnya, ujarnya.

Baca juga: Pertanian organik adalah kunci ketahanan pangan, namun menghadapi banyak tantangan

“Pada tahun 2023, ekspor pertanian Indonesia mencapai US$6,5 miliar, sedangkan impor mencapai US$11,59 miliar sehingga mengakibatkan defisit impor pertanian sebesar US$5,0 miliar dolar,” jelasnya.

Selain itu, tambahnya, defisit impor minyak mentah mencapai 39,2 miliar dolar AS pada periode 2015-2023.

Hal ini terjadi karena impor minyak mentah sebesar US$69,3 miliar tidak diimbangi dengan ekspor yang hanya sebesar US$30,1 miliar.

Defisit juga terlihat pada sektor perminyakan, dimana nilai impor mencapai 165,2 miliar dolar, sedangkan ekspor hanya 17,9 miliar dolar, sehingga terjadi defisit yang sangat besar yaitu 147,3 miliar dolar, imbuhnya yang satu ini.

Baca Juga: Rupee Melemah di Rp 15.600 per Dolar AS, Dampak Dinamika Politik?

Mereka memperkirakan tingginya inflasi pangan dan energi menjadi faktor utama penurunan daya beli rumah tangga, sementara kapasitas subsidi fiskal terbatas. Gangguan daya beli ini berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi nasional ke depan.

Tantangan ketiga adalah investasi dan struktur keuangan. Meski kontribusi investasi terhadap PDB mencapai 29,3% pada tahun 2023, namun angka tersebut masih lebih rendah dibandingkan periode sebelum pandemi Covid-19 yaitu sebesar 32,35%.

“Jumlah investasi yang tersedia saat ini tidak cukup untuk memenuhi pertumbuhan angkatan kerja yang terus meningkat. Hal ini disebabkan dominasi investasi pada sektor konstruksi, sedangkan investasi pada permesinan, kekayaan intelektual, dan teknologi baru masih sangat rendah, jelasnya.

Baca juga: Jokowi Terapkan Syarat Baru pada TKA IKN, Apa Saja?

Akibatnya, tambahnya, profil investasi Indonesia tidak sejalan dengan kebutuhan tenaga kerja dan tidak cukup untuk merangsang pertumbuhan ekonomi secara efektif dan adil.

Selain itu, investasi yang ada belum cukup untuk mengubah struktur perekonomian karena masih terkonsentrasi pada sektor barang dan belum cukup mendorong perkembangan sektor manufaktur.

Padahal, sektor manufaktur sangat penting untuk meningkatkan daya saing Indonesia dalam rantai pasok global, ujarnya.

Tantangan berikutnya adalah pertumbuhan industri pengolahan.

Baca juga: Kolaborasi Pendidikan dan Industri, Kunci Hadapi Tantangan Pekerjaan Ramah Lingkungan di Era Ekonomi Berkelanjutan

Sejak tahun 2011, pertumbuhan industri manufaktur di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) nasional.

Pada periode tersebut, pertumbuhan PDB berkisar antara 5 hingga 6 persen, sedangkan pertumbuhan manufaktur hanya 3 hingga 4 persen.

Akibatnya, pangsa manufaktur terhadap PDB turun dari 21,7 persen pada tahun 2011 menjadi hanya 18,2 persen pada kuartal kedua tahun 2024, katanya.

Selain itu, tambahnya, struktur industri manufaktur Indonesia saat ini didominasi oleh sektor makanan dan minuman yang terutama menopang konsumsi dalam negeri.

Baca juga: Apa jadinya jika Anda meminum minuman elektrolit setiap hari?

Sementara itu, industri teknologi tinggi mengalami pertumbuhan yang sangat lambat.

“Situasi ini menunjukkan adanya tantangan serius terhadap deindustrialisasi,” katanya, meskipun sektor industri sangat penting dalam mendorong transisi Indonesia menuju status negara berpendapatan tinggi.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bidang maritim merupakan sebuah tantangan. Sektor-sektor ini meliputi energi, keanekaragaman hayati, pariwisata, pendidikan, dan pangan.

Said mengungkapkan, sektor kelautan saat ini didominasi oleh sektor perikanan dengan fokus utama adalah perikanan dan budidaya perikanan.

Baca Juga: Budidaya Udang Berkelanjutan Lebih Produktif, Percepat Siklus Panen

“Hilirisasi sektor perikanan terlihat belum terlihat, dan sektor kelautan lainnya belum berkembang dengan baik,” jelasnya.

Padahal, tambahnya, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang melimpah dan berpotensi memberikan manfaat ekonomi bagi negara di masa depan.

Namun, alih-alih mengembangkan sektor kelautan secara berkelanjutan, Indonesia malah menghadapi berbagai tantangan.

Tantangan yang dimaksud antara lain perubahan iklim yang berujung pada rusaknya ekosistem laut, pembangunan yang tidak memperhatikan kelestarian ekosistem laut, serta terabaikannya nelayan tradisional dalam pembangunan sektor kelautan khususnya dalam hal pendidikan dan pengembangan alat produksi. . .

Baca Juga: Eropa Naikkan Tarif Impor Produk Tesla China, Pemerintah China Kesal

Selain sektor kelautan, kesehatan dan angka harapan hidup juga menjadi tantangan Indonesia Emas 2045.

Menurut Saeed, tercapainya angka harapan hidup penduduk saat ini merupakan modal penting dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.

“Namun, kita menghadapi tantangan serius yang mengancam penurunan angka harapan hidup. Kekhawatiran utama adalah meningkatnya kasus penyakit degeneratif seperti Parkinson, Alzheimer, kanker, diabetes, tekanan darah tinggi, osteoartritis, dan multiple sclerosis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top