Sahroni Ingin Utamakan Pengembalian Kerugian Negara, ICW Sindir RUU Perampasan Aset Mandek di DPR

JAKARTA, virprom.com – Organisasi Persepsi Korupsi (ICW) Indonesia mengkritik Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahrani karena tidak menyusun peraturan yang bertujuan pemberantasan korupsi saat Sahrani menjabat sebagai ketua komisi hukum.

Peneliti ICW Dicky Anandya mengatakan hal itu menanggapi pernyataan Sahrani yang menyebut restitusi kerugian negara lebih efektif memberikan jera bagi koruptor dibandingkan hukuman penjara.

“Sejak beliau (Ahmed Sahrani) menjabat di Komisi III Republik Kazakhstan bidang hukum pada tahun 2016, beliau atau seluruh anggota Komisi III tidak mendapat bukti nyata untuk memperkuat ketentuan pemberantasan korupsi,” kata Dicky saat dihubungi. , Dushanbe (9/9/2024).

Menurut Dickey, sebagai Ketua Komisi III DPR, Sahrani seharusnya mengetahui akar permasalahan pemberantasan korupsi di Indonesia adalah lemahnya pasal yang mengatur pengembalian aset pidana.

 

Baca juga: Sahrani Sebut Hukuman Penjara Tak Efektif Berantas Korupsi

Namun Komisi III DPR justru menyusun berbagai aturan yang menghambat pemberantasan korupsi, seperti revisi UU KPK, RKHUP, dan revisi UU Reformasi.

Sementara itu, undang-undang penyitaan, yang diikuti dengan naskah akademis dan rancangan undang-undang, tidak pernah menjadi prioritas.

“RUU perampasan harta benda yang sebenarnya sudah ada naskah akademis dan RUU sejak tahun 2012, tidak pernah diprioritaskan untuk dibahas mendesak, malah malah disahkan. Kondisi ini menjadi bukti nyata lemahnya keterlibatan anggota kelompok anti-perampasan ini. -organisasi korupsi RI, khususnya Komisi III,” ujarnya.

Baca juga: Respons Jokowi, Komisi III Sebut UU Perampasan Properti Tak Bisa Segera Disahkan

Dickey juga menegaskan, kualitas suatu produk legislatif tidak ditentukan oleh kecepatan pertimbangannya, melainkan kualitas proses pembahasannya yang memperhatikan masukan masyarakat dan pemangku kepentingan.

Oleh karena itu, Dickey mendorong PRB untuk berkomitmen segera melakukan peninjauan kembali terhadap undang-undang penyitaan tersebut.

“Pembahasan undang-undang perampasan harta benda harus menjadi salah satu prioritas utama untuk segera dibahas dan disetujui pada awal masa jabatan DPR berikutnya,” ujarnya.

Diberitakan sebelumnya, Sahrani menilai kompensasi negara lebih efektif mencegah korupsi dibandingkan hukuman penjara.

Dalam tesisnya untuk meraih gelar doktor hukum di Universitas Borobudur Jakarta, Sahrani menekankan pentingnya penggantian hukuman penjara sebagai upaya terakhir atau final punishment.

“Kalau kita fokus pada hukuman badan atau pidana penjara, tidak selalu memberikan efek jera yang diinginkan. Di sini kita mencoba menggunakan strategi baru untuk menjadikan pengembalian uang negara sebagai prioritas, bukan hanya menghukum yang bersalah,” kata Sahrani di Jakarta , Minggu (9 Agustus 2024).

Baca juga: DPR mendatang diragukan akan segera merampungkan RUU Penyitaan Aset

Diakui Sahrani, penerapan strategi tersebut bukanlah perkara mudah, dalam 5-10 tahun ke depan prioritasnya adalah mengganti kerugian negara, bukan hukuman penjara bagi koruptor.

Karena harusnya ada undang-undang yang menyatakan bahwa pidana penjara merupakan hukuman pidana tertinggi bagi koruptor.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top