Revisi UU Penyiaran: Demokrasi di Ujung Tanduk

Rancangan revisi undang-undang penyiaran yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan jurnalis, pakar hukum, dan pembela kebebasan demokratis.

RUU tersebut memuat ketentuan yang secara kritis melemahkan peran jurnalisme investigatif dan memperluas kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Jika diterapkan, rencana perubahan ini akan melemahkan prinsip-prinsip dasar transparansi, akuntabilitas publik, dan tata kelola pemerintahan yang demokratis secara signifikan.

Hanya enam bulan sebelum pergantian kekuasaan, ada yang mencoba merevisi UU Radio dan Televisi dengan memasukkan pasal-pasal yang menindas kebebasan pers.

Kaum oligarki semakin khawatir dengan ditemukannya praktik penipuan dan korupsi yang mereka lakukan.

Ketergesaan untuk melakukan perubahan signifikan dipandang oleh banyak orang sebagai langkah strategis untuk menghapuskan kebebasan yang dapat mengancam status quo yang ada.

Inti dari undang-undang kontroversial ini adalah Pasal 50B ayat 2 huruf c yang mengusulkan pelarangan total terhadap penyiaran jurnalisme investigatif eksklusif.

Usulan ini bukan sekadar perubahan undang-undang, namun merupakan serangan mendasar terhadap kemampuan media untuk beroperasi secara bebas dan hak publik atas informasi.

Alasan DPR – yang menyatakan bahwa langkah tersebut akan mencegah monopoli kelompok media tertentu dan mengurangi pengaruh yang tidak semestinya terhadap opini publik mengenai proses hukum yang tertunda – sangatlah keliru dan mengungkapkan kesalahpahaman mendasar mengenai peran jurnalisme dalam masyarakat.

Jurnalisme investigatif sering disebut-sebut sebagai tulang punggung demokrasi, sebuah mekanisme penting untuk mengungkap korupsi, meminta pertanggungjawaban orang-orang berkuasa, dan mengungkap informasi yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat.

Dengan membatasi bentuk-bentuk jurnalisme, DPR tidak hanya mengatur media, namun juga menjadikannya sebagai corong pemerintah dan kepentingan penguasa, sehingga melemahkan checks and balances yang penting bagi sistem demokrasi yang sehat.

Selain itu, Pasal 8A RUU tersebut mengusulkan pemberian kewenangan kepada KPI untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik. Fungsi ini secara tradisional dan lebih tepat merupakan kewenangan Dewan Pers.

Pergeseran ini tidak hanya bertentangan dengan UU Pers, yang menetapkan Dewan Pers sebagai mediator dalam perselisihan media, namun juga merupakan konsentrasi kekuasaan yang berbahaya.

Independensi media terancam ketika lembaga yang ditunjuk pemerintah seperti KPI diberi wewenang untuk menilai konten dan maksud karya jurnalistik.

Pelecehan ini mengancam akan membungkam suara-suara kritis dengan kedok penyelesaian sengketa, sehingga menjadi preseden yang dapat digunakan untuk membungkam perbedaan pendapat dan membatasi kebebasan berpendapat.

Perubahan yang diusulkan dalam RUU ini menunjukkan tren yang mengkhawatirkan menuju kontrol otoriter atas konten media, terutama di negara-negara di mana demokrasi harus berkembang berdasarkan keberagaman pendapat dan analisis kritis.

Peran jurnalis bukan untuk melayani kepentingan penguasa, melainkan mempertanyakan dan mengkritik penguasa.

Dengan melemahkan fungsi ini, DPR mempertaruhkan integritas media dan proses demokrasi yang bergantung pada pemilih yang memiliki informasi.

Melihat lanskap global, peran jurnalisme investigatif dalam mendukung proses demokrasi sudah banyak diketahui.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top