“Reshuffle” Menteri Jokowi: Urgensi atau Politik Strategis?

PRESIDEN Joko Widodo kembali melakukan pergantian menteri di akhir masa jabatannya. Reformasi yang dilakukan pada 19 Agustus lalu, sekitar dua bulan menjelang berakhirnya pemerintahan, mendapat banyak kritik dari masyarakat karena lebih mementingkan aspek politik dibandingkan profesionalisme.

Kepentingan politik tersebut meliputi kepentingan kekuasaan, transisi dan kelangsungan kekuasaan.

Ada tiga menteri baru yang dilantik pada pelantikan tersebut, yakni Bahlil Lahadalia sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menggantikan Arifin Tasrif.

Posisi Bahlil yang sebelumnya Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) digantikan oleh Rosan Roeslani yang merupakan seorang pengusaha, mantan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat dan juga Ketua Umum Partai Prabowo-Gibran. Tim Kampanye pada Pemilu 2024.

Menteri lain yang dilantik Presiden Jokowi adalah Supratman Andi Agtas menggantikan Yasonna Laoly sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Jokowi juga mengganti Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika dan mengangkat Angga Raka Prabowo pada posisi tersebut.

Perubahan lainnya terjadi pada jajaran pimpinan perusahaan yang jika ditelusuri asal usulnya memiliki kedekatan politik dengan Presiden Joko Widodo dan Presiden terpilih Prabowo yang akan mengisi jajaran pimpinan kabinet Indonesia ke depan.

Pelaksanaan pergantian menteri diatur dalam pasal 22 undang-undang nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang berbunyi “menteri diangkat oleh presiden”.

Sementara itu, pemberhentian menteri oleh presiden diatur dalam pasal 24 ayat 2 karena beberapa alasan, antara lain:

“Menteri dipecat oleh Presiden karena: a. pengunduran diri atas permintaan tertulis; B. tidak dapat melaksanakan tugas selama 3 (tiga) bulan berturut-turut; C. dinyatakan bersalah menurut kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; D. melanggar ketentuan larangan merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 23; atau dengan alasan lain yang diputuskan oleh Presiden.”

Pasal ini juga menjadi landasan hukum bagi presiden untuk mengangkat atau memberhentikan seorang menteri.

Berdasarkan kondisi tersebut, jika ditelaah lebih jauh, alasan pemberhentian menteri pada Pasal 24 Ayat 2 Huruf e UU 39 Tahun 2008 yang menjadi dasar pendapat Presiden mempunyai makna yang besar.

Sebab, frasa “alasan lain yang diputuskan oleh Presiden” dapat diartikan secara luas dan tidak mempunyai indikasi yang jelas mengapa seorang menteri harus diberhentikan oleh Presiden.

Sebaliknya, dalam menjalankan tuntutannya, Presiden tidak perlu meminta pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam melakukan pergantian kementerian sesuai dengan prinsip Pasal 19 ayat 1 yang berbunyi: “Perubahan. akibat pemisahan atau penggabungan kementerian tersebut dilakukan atas pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”.

Hal ini secara tidak langsung memberikan kekuasaan yang lebih luas kepada presiden untuk memecat dan mengangkat menteri berdasarkan alasan yang mendasar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top