Peristiwa Kudatuli, PDI Megawati, dan Gerakan Moral Pro-Demokrasi

TRAGEDI berdarah yang terjadi pada tanggal 27 Juli 1996 atau dikenal dengan Peristiwa Dua Puluh Tujuh Juli (Kudatuli) dapat dikatakan menjadi dorongan besar bagi konsolidasi gerakan perlawanan terhadap rezim otoriter Orde Baru dibawah Presiden Soeharto.

Pasalnya, peristiwa Kudatuli yang juga dikenang sebagai peristiwa Sabtu Abu-abu ini banyak disaksikan masyarakat karena mengakibatkan korban luka-luka, orang hilang bahkan meninggal dunia akibat penyerangan yang sangat brutal terhadap kantor pimpinan pusat. . Dewan Partai Demokrat Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.

Prasyarat itu terkait dengan hasil Kongres IV PDI di Medan pada 21 Juli 1993 yang mengangkat Soerjadi sebagai Presiden Jenderal dan Niko Daryanto sebagai Sekretaris Jenderal.

Saat itu, rezim pemerintahan Soeharto mendukung Budi Harjono untuk mencalonkan diri sebagai Ketua Umum PDI, namun ia kalah. Pasca kekalahan tersebut, kubu Budi Harjono langsung menduduki lokasi konvensi sehingga menimbulkan kekacauan.

Terjadi kebuntuan dalam proses penetapan dan penghitungan pimpinan inti PDI periode 1993-1998.

Sebagai upaya untuk menyelesaikan perselisihan tersebut, lima bulan kemudian diadakan Kongres Luar Biasa PDI (KLB) di Surabaya pada tanggal 6 Desember 1993.

Yang mengejutkan, muncul dinamika politik internal yang akhirnya berujung pada nama Megawati Soekarnoputri sebagai calon Ketua Umum PDI menantang Soerjadi.

Singkat cerita, Megawati terpilih sebagai Ketua Umum dan kemudian mendeklarasikan dirinya sebagai Ketua Umum secara de facto untuk mencegah campur tangan pemerintah terhadap PDI.

Situasi ini membuat rezim Orde Baru patah semangat. Pasalnya, sejak Megawati bergabung dengan PDI pada 1986 dan kemudian diangkat menjadi aktivis partai, perolehan suara dan kursi di PDI terus bertambah signifikan.

Sebelum Megawati bergabung dengan PDI, kursi PDI pada pemilu 1982 sebanyak 24 kursi DPR RI. Sedangkan setelah Megawati menjabat, terdapat 40 kursi DPR RI pada pemilu 1987 dan 56 kursi DPR RI pada pemilu 1992.

Artinya, tidak banyak peluang bagi pemerintahan Soeharto untuk kembali melakukan intervensi terhadap pimpinan PDI sebelum aliran dukungan masyarakat terhadap Megawati semakin luas.

Pilihan terakhir bagi rezim ini, tentu saja, adalah memecah PDI, dan mengalihkan dukungan kepada Soerjadi untuk menjadi presiden jenderal.

Meskipun bagi pemerintahan Orde Baru saat itu, mendukung Soerjadi sebagai presiden jenderal adalah pilihan yang buruk, namun membiarkan Megawati menggantikan posisinya sebagai pimpinan tertinggi PDI adalah pilihan yang lebih buruk lagi.

Pasalnya, kepemimpinan Megawati di PDI berpotensi menghidupkan kembali semangat kepemimpinan dan ideologi Sukarnoisme hingga kembali ke masyarakat Indonesia setelah berkali-kali rezim Orde Baru berusaha membunuhnya dalam kebijakan de-Sukarnoisasi.

Kebijakan de-Sukarnoisasi merupakan kebijakan yang meminimalkan atau berusaha menghilangkan aliran sesat terhadap Sukarno dari ingatan masyarakat Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top