Pencabutan Nama Soeharto: Perubahan Non-Formal Ketetapan MPR

Rapat Pimpinan Gabungan MPR yang memutuskan untuk menghapus nama Soeharto dari ketentuan Pasal 4 TAP MPR No. XI Tahun 1998 tentang Pemajuan KKN yang Bersih dan Merdeka.

Hal ini dikritik banyak pihak dari sisi sosial, politik, dan hukum.

Pasal tersebut berbunyi: “Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap semua orang, termasuk pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan sahabatnya, serta pihak swasta/konglomerasi, termasuk mantan presiden Soeharto, meskipun mendapat perhatian dibayar dengan asas praduga tak bersalah dan hak asasi manusia.

Dari segi hukum, apa yang terjadi dalam TAP menunjukkan tidak adanya musyawarah bersama dan adanya perbaikan TAP MPR di luar prosedur formal. Upaya inilah yang ingin penulis kualifikasikan sebagai gejala perubahan informal.

Istilah perubahan informal yang digunakan terinspirasi dari model perubahan konstitusi yang diungkapkan oleh Fajrul Falaakh (2014) yaitu “mengubah makna konstitusi tanpa mengubah dokumen”.

Perubahan informal tersebut pada hakikatnya terjadi dalam konteks penafsiran Mahkamah Konstitusi yang memodifikasi makna teks UUD.

Contoh perubahan informal yang terjadi saat ini antara lain kewenangan Komisi Yudisial dalam teks Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mengawasi hakim (secara umum), namun maknanya diubah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi no. 005/PUU-IV/2006 hanya mengawasi hakim selain hakim konstitusi.

Selain konstitusi, model perubahan ini dapat terjadi pada produk hukum lainnya, dan tidak dapat diwujudkan melalui penafsiran hakim. Perubahan yang terjadi melalui aksi politik misalnya.

Pengertian perubahan yang dianut disini adalah produk hukum TAP MPR. Oleh karena itu, perubahan TAP MPR secara informal merupakan perubahan makna tertentu, namun syarat formal dokumen TAP MPR tetap dan tidak berubah. Prosedur formal

Sebelum menilai dampak perubahan informal, perlu diuraikan prosedur formal TAP MPR/S.

Pasca amandemen, MPR tidak bisa mengeluarkan peraturan perundang-undangan (mengendalikan), bahkan mengubahnya.

Alih-alih dipahami secara tegas sebagai konsekuensi amandemen UUD, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 66/PUU-XXI/2023 juga menegaskan bahwa MPR tidak dapat menerbitkan TAP yang bersifat peraturan dan mempunyai kekuatan mengikat.

Dengan demikian, TAP MPR/S yang ada saat ini merupakan produk pasca MPR/S dan kenyataannya tetap menjadi lembaga tertinggi yang membidangi masyarakat, dan bukan MPR saat ini yang kedudukannya setara dengan lembaga tinggi negara lainnya.

Ketetapan MPR no. I Tahun 2003 (TAP Sapu Jagat) sebagai tindak lanjut dan amanat Peraturan Tambahan UUD 1945 untuk meninjau kembali seluruh TAP MPR/S yang ada, mengatur satu-satunya tata cara formal Tap MPR.

CMT mengatur tata cara pencabutan CTA MPR/S yang sudah ada, dan tidak mengatur sama sekali tata cara perubahan latar belakang CTA.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top