Pasar Melemah, Toyota Harap Pemerintah Tunda Kenaikan PPN 12 Persen

JAKARTA, virprom.com – Wakil Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam berharap pemerintah mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen pada tahun 2025.

Pasalnya, kondisi pasar domestik saat ini yang ditandai dengan lemahnya daya beli dan penurunan Purchasing Managers’ Index (PMI) sektor manufaktur Indonesia masih berdampak.

“Kita harapkan stimulus datang untuk memulihkan permintaan, mengembalikan kepercayaan pasar. Sekarang PMI (Agustus 2024) juga sudah turun, di bawah 50, tandanya kita masuk zona kontraksi,” ujarnya.

Baca juga: Penjualan Mobil Bakal Susah Capai 900.000 Unit Tahun Ini

Oleh karena itu, optimisme pasar harus tetap dijaga. Kebijakan promosi seperti relaksasi (daripada kenaikan PPN) harus diutamakan, kata Bob.

Namun hal ini tidak berarti dunia usaha menentang upaya pemerintah untuk meningkatkan pendapatan, yang pada akhirnya akan menghasilkan pertumbuhan yang lebih besar. Hanya saja kecepatannya saat ini kurang tepat.

“Karena kita tidak bisa menjamin ketika tarif pajak naik maka pendapatan akan meningkat. Kalau perekonomian menyusut maka akan lebih berbahaya.”

“Juga dalam beberapa tahun terakhir kita mengalami deflasi karena melemahnya pasokan atau daya beli. Saya kira itu perlu ditinjau kembali,” kata Bob.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Aylangga Hartarto memastikan tarif PPN akan naik dari 11 persen menjadi 12 persen pada tahun 2025. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (HPP).

Baca Juga: Inilah 10 Merek Mobil Terlaris Agustus 2024, BYD Masuk 10 Besar

Bahkan, dalam kesempatan yang sama, rencana itu dikabarkan bisa saja ditunda, namun tergantung undang-undang yang menyertainya.

“Kalau tidak ada hubungannya dengan hukum, tidak ada apa-apa. “Jadi nanti catatan keuangannya akan kita ikuti,” ujarnya, Kamis (8/8/2024) lalu.

FYI, Indonesia saat ini sedang menghadapi penurunan daya beli yang tercermin dari lima tahun terakhir yang mendekati garis kemiskinan, dengan jumlah penduduk kelas menengah yang menurun dari 57,33 juta menjadi 47,85 juta pada tahun 2024 (data BPS).

Sementara PMI manufaktur Indonesia tepatnya Agustus 2024 tercatat di bawah 50 yaitu sebesar 48,9, menurut data S&P Global. 49,3, berada di bawah bulan sebelumnya.

PMI sering digunakan untuk memahami arah perekonomian dan pasar serta melihat peluang di masa depan. Oleh karena itu, negara-negara dengan PMI manufaktur di atas 50 dianggap memiliki industri/manufaktur yang berkembang atau berkinerja baik.

Jadi, jika nilai PMI manufaktur kurang dari 50, berarti aktivitas manufaktur kurang baik atau masuk kategori kontraksi.

Baca Juga: Jangan membeli motor bekas tanpa dokumentasi lengkap

Alasan utama memburuknya kesehatan sektor ini adalah penurunan tajam pesanan baru. Perusahaan menekankan bahwa kenaikan harga suatu barang menurunkan aktivitas komersial (penurunan permintaan).

Di sektor otomotif, keadaan ini berbanding lurus dengan penurunan penjualan mobil. Total grosir dan distribusi dari pabrik ke distributor mencapai 560.619 unit pada Januari-Agustus 2024, turun 17,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 675.859 unit, menurut data Gaikindo.

Sementara itu, penjualan ritel mengalami penurunan sebesar 12,1 persen dari 665.262 unit menjadi 584.857 unit pada periode yang sama.

Perlu dicatat bahwa pasar mobil terbesar di dunia adalah pasar berpenghasilan menengah ke bawah, kata Yannes Martinus Pasaribu, pakar desain produk industri Institut Teknologi Bandung, di acara lain. Dengarkan berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponsel Anda. Pilih saluran berita favorit Anda untuk mengakses saluran WhatsApp virprom.com: https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan Anda telah menginstal WhatsApp.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top