Para Pembelot Korea Utara Sulit Cari Pekerjaan dan Terancam Dipulangkan

Korea Utara menarik perhatian masyarakat dari seluruh dunia karena negara tersebut terkenal sangat tertutup. Banyak warga Korea Utara yang tidak berani mengambil risiko meninggalkan negaranya untuk mencari kehidupan baru yang lebih baik di negara lain. Pemerintah Korea Utara mengatakan para pembelot tersebut dianggap buronan.

Jumlah pengungsi berubah setiap tahunnya. Korea Selatan, tujuan utama warga Korea Utara, mengalami penurunan tajam jumlah pembelot selama pandemi Covid-19. Perubahan jumlah pengungsi juga disebabkan oleh peningkatan pencegahan dan pengendalian di wilayah perbatasan.

Pada tahun 2019, jumlah pengungsi yang tiba di Korea Selatan mencapai 1047 orang. Namun pada tahun 2021, jumlah pengungsi yang tiba di Korea Selatan hanya berjumlah 63 orang, dan pada tahun 2022 menjadi 67 orang meningkat secara bertahap pada tahun 2023 menjadi 196 orang.

Baca Juga: 600 Warga Korea Utara yang Diusir dari Tiongkok Hilang Tanpa Informasi

Sejak berakhirnya Perang Korea pada tahun 1953, Korea Utara dan Korea Selatan telah dipisahkan menjadi dua negara yang terpisah. Meski sama-sama berasal dari wilayah yang sama, namun kedua negara tersebut akhirnya menjadi dua negara dengan karakteristik serupa.

Meskipun Korea Selatan telah menjadi salah satu negara terkaya dan paling maju secara teknologi di dunia, Korea Utara semakin terisolasi dari negara-negara lain karena kemiskinan ekstrem dan kebebasan yang terbatas.

Banyak warga Korea Utara yang kesulitan mendapatkan pangan, sehingga banyak pula yang harus hidup dalam kelaparan. Akibatnya, banyak warga Korea Utara yang akhirnya memutuskan mengungsi ke negara tetangga. Pelarian tetap menghadapi bahaya bahkan setelah berhasil melarikan diri

Mereka yang berani melarikan diri harus bersiap menghadapi segala rintangan, mulai dari tertangkap di tengah penerbangan hingga tewas. Kalaupun mereka berhasil melarikan diri, mereka harus menghadapi banyak masalah lain yang tidak pernah mereka bayangkan.

Setibanya di Korea Selatan, mereka akan diminta untuk mengikuti kursus 12 minggu yang dirancang untuk membantu mereka menyesuaikan diri dengan kehidupan di rumah baru mereka. Mereka akan menerima dukungan keuangan dan akomodasi, serta akses terhadap layanan kesehatan dan pekerjaan.

Hal-hal ini tampak menarik. Namun, mereka tidak mengetahui bahwa ada risiko yang masih harus mereka hadapi meski sudah menerima bantuan tersebut.

Kang Na-ra, warga negara Korea Utara yang pindah ke Korea Selatan pada tahun 2014, selalu berpikir bahwa kehidupan di Korea Selatan akan seperti drama Korea yang biasa ia tonton secara diam-diam selama berada di Korea Utara. Nyatanya, kehidupan yang dijalaninya di Korea Selatan tak jauh dari ekspektasinya.

Ibunya, yang sudah bercerai, harus bekerja berjam-jam setiap hari untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kang Na-ra sendiri mengaku sangat kesepian karena hanya memiliki sedikit teman meski berbicara dalam bahasa yang sama.

Korban lainnya, yang tidak mau disebutkan namanya, mengaku harus menghadapi perbedaan budaya antara Korea Selatan dan Utara. Baliho berwarna cerah dengan tulisan bahasa Inggris menyebabkan dia kesulitan.

Baca Juga: Kapal kecil yang diduga berisi warga Korea Utara Tiba di Korea Selatan

Sangat sulit mencari pekerjaan di Korea Selatan. Warga negara Korea Selatan kesulitan mendapatkan pekerjaan di negara tersebut, terutama bagi pengungsi Korea Utara.

Pada tahun 2019, pembelot Korea Utara Han Song-ok ditemukan tewas di rumahnya bersama putranya yang berusia 6 tahun setelah gagal membayar tagihan. Kurangnya makanan di lemari es menandakan mereka berdua mungkin lapar.

Sulitnya kehidupan yang mereka hadapi di Korea Selatan mendorong mereka mempertimbangkan untuk kembali ke Korea Utara. Menurut laporan tahun 2022 oleh Biro Hak Asasi Manusia Korea Utara (NKDB), 18,8 persen pembelot yang disurvei mengatakan mereka mempertimbangkan untuk kembali ke Korea Utara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top