Pancasila dan Kemiskinan Anak

Seorang gadis di Belawan, Sumatera Utara, berusia 8-9 tahun, harus bekerja alih-alih memperbaiki sepeda hingga larut malam untuk memberi makan keluarganya.

Video seorang gadis membuka baju menjadi populer di media sosial seminggu sebelum hari lahir Pancasila. Gadis yang tidak diketahui namanya ini merupakan salah satu gambaran samar kemiskinan anak di Indonesia.

Di Indonesia, terdapat 1,01 juta anak usia 5-17 tahun yang harus bekerja untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. Hidupnya hancur dan terpuruk akibat gempuran kemiskinan. Ketimpangan yang signifikan

Pekerja anak terkait erat dengan kemiskinan. Di Indonesia, struktur kemiskinan berdasarkan usia didominasi oleh anak-anak dan remaja (0-17): 11,8 persen (BPS, 2023).

Sayangnya, isu kemiskinan anak jarang dibahas dalam politik atau kebijakan.

Permasalahan kemiskinan anak erat kaitannya dengan banyak hal, seperti pekerja anak, tidak putus sekolah, tidak memiliki akta kelahiran, melahirkan tanpa bantuan tenaga medis, dan tinggal di rumah tidak berpenghuni.

Göran Therborn, seorang profesor sosiologi asal Swedia di Universitas Cambridge, mengaitkan kemiskinan anak dengan kesenjangan. Ia membagi ketimpangan ini menjadi tiga dimensi: esensial, eksis, dan material.

Dalam konteks ini, kemiskinan anak merupakan ketimpangan yang besar. Therborn mendefinisikan ketimpangan signifikan sebagai kesempatan hidup untuk hidup sehat dan panjang umur serta kemampuan untuk mewujudkan potensi hidup yang dimiliki.

Di Indonesia, dari setiap 1000 kelahiran hidup, terdapat 17 anak meninggal sebelum usia satu tahun. Dua puluh dari setiap 1000 anak meninggal sebelum usia lima tahun.

Jadi 21,6 persen yang mampu bertahan hidup mengalami tengkes. Tengkes menurunkan angka harapan hidup.

Setelah beranjak dewasa, anak-anak ini terus terjerumus ke dalam kemiskinan. Terakhir, kesempatan mereka untuk menikmati pendidikan tidak terbatas.

Meski program pendidikan dibatasi 12 tahun, namun jumlah anak usia 10 tahun ke atas yang tidak bersekolah atau tidak bersekolah masih sebesar 2,96 persen (BPS, 2023).

Angka putus sekolah masih tinggi: SD mencapai 0,13 persen, SMP 1,06 persen, dan SMA 1,38 persen (BPS, 2023).

Di Indonesia, 57,91% anak tinggal di rumah kosong yang tidak didukung oleh kebersihan yang baik dan akses terhadap air bersih. Kondisi ini membatasi peluang mereka untuk hidup sehat dan cerdas.

Kemiskinan membuat anak sulit mendapatkan makanan sehat dan bergizi. Akibatnya, mereka kekurangan nutrisi yang diperlukan untuk perkembangan fisik dan mental.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top