Paham “Ngedan” Penghalang Ideologis Prabowo

SEBELUMNYA, sekitar tahun 1860, penyair besar sastra Jawa, Ranggawarsita, menggambarkan “Zaman Kegilaan” dalam Serat Kalatidha. Masyarakat Jawa pun mengenalnya dengan sebutan “Era Gemblung”.

Masyarakat (negara) mengalami penurunan nilai. Banyak orang meninggalkan norma-norma kehidupan yang terhormat.

Orang yang berada di jalan yang benar akan kebingungan, orang yang berada di jalan yang salah akan bersenang-senang. Orang baik diabaikan, orang jahat dipromosikan.

Tidak ada lagi panutan bagi para pemimpin. Mereka suka mengingkari janji.

Orang cerdas juga terbawa arus. Mereka kehilangan kepercayaan diri dan kewaspadaan. Anda mudah tergoda oleh janji-janji besar.

Orang-orang sibuk mengumpulkan kekayaan materi. Tidak peduli orang lain dirampas hak hidupnya dan banyak yang dirugikan dengan cara yang diterapkan.

Kekayaan materi lebih baik daripada kebajikan. Orang dihormati dan diperhatikan karena harta bendanya, bukan karena perilakunya.

Di “masa gila”, kata Ranggawarsita, seseorang tidak akan mendapat peran kecuali mereka “menari” dan menjadi gila juga. “Ngedan” kemudian menjadi suatu paham (mazhab) yang bersifat ideologis.

Mirip dengan “Era Kegilaan” dalam Serat Kalatidha, hampir pada periode sejarah yang sama, Prabu Jayabaya juga menyampaikan ramalan yang disebut “Era Kalabendhu”, zaman kebingungan, kekacauan, banyak kekacauan. Dalam masyarakat Jawa, karya ramalan Prabu Jayabaya populer disebut “Ramalan Jayabaya”.

Raja Jayabaya antara lain mengatakan:

“Wong tani ditaleni (petani dirantai), wong dora padha ura-ura (pembohong saling mengejek). Ratu ora menepati janji (ratu/raja mengingkari janji), musna kuwasa lan prabawane (kehilangan kekuasaan dan kewibawaan).

Menurut ramalan Jayabaya, “zaman kalabendhu” akan dihentikan oleh Satria Piningit. Juga dikenal sebagai Ratu Adil.

Satria Piningit atau Ratu Adil adalah pembawa kebijaksanaan dan keadilan masa depan. Kepemimpinannya memastikan kemakmuran yang adil.

Pada akhir abad ke-19, banyak pemberontakan petani yang dipimpin oleh masyarakat lokal yang mengaku sebagai Ratu Adil. Guru besar sejarah Sartono Kartodirdjo dengan jelas menuliskannya dalam buku berjudul “Pemberontakan Petani Banten Tahun 1888”.

Dalam Indonesia Meng Gugat yang diajukan sebagai pembelaan ke pengadilan pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1930, Soekarno menerjemahkan Ratu Adil secara semiotik.

Ratu Adila Soekarno dibaca sebagai wujud impian masyarakat kolonial yang hidup dalam kemiskinan. Masyarakat kolonial memimpikan sistem kekuasaan (pemerintahan) yang menjamin pemerataan kesejahteraan.

Oleh karena itu, dalam pidatonya yang disampaikan pada tanggal 1 Juni 1945, pada sidang BPUPK (Badan Penyidik ​​Upaya Persiapan Kemerdekaan), Soekarno mengusulkan sistem pemerintahan Indonesia merdeka yang berdasarkan Pancasila.

Sistem pemerintahan yang berdasarkan Pancasila inilah yang akan mengantarkan bangsa Indonesia mencapai kesejahteraan yang berkeadilan. Sebuah fakta yang ironis

Namun ironisnya, konsep “ngedan” justru muncul di kalangan pemimpin Indonesia ketika Pancasila resmi ditetapkan sebagai dasar negara.

Padahal, tanggal 1 Juni ditetapkan sebagai hari lahir Pancasila sekaligus hari libur nasional. Ideologi “ngedan” kini menjadi tandingan ideologi Pancasila.

Hal ini sangat ironis, juga karena “Era Reformasi” justru lahir sebagai antitesis dari “Era Gila”. Pemerintahan Orde Baru dinilai menganut ideologi “ngedan”.

Oleh karena itu, berakhirnya pemerintahan Orde Baru otomatis memunculkan harapan terhadap kepemimpinan pemerintahan yang mewarisi sifat adil Ratu Adil. Pemimpin bekerja untuk kepentingan rakyat.

Namun, sejarah menunjukkan sebaliknya. Pemimpinnya jelas tidak mewarisi sifat cantik Ratu Adil yang diimpikan masyarakat. Sebaliknya, para pemimpin mempertahankan pandangan kolonial yang memandang Indonesia sebagai ladang subur untuk pengayaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top