Navigasi Diplomasi Prabowo: Menyeimbangkan Hubungan dan Kepentingan Indonesia

Indonesia kini menghadapi momen penting dalam sejarahnya, setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir, dan akan mendefinisikan kembali perannya di panggung dunia di bawah kepemimpinan Presiden terpilih Prabowo Subianto.

Dengan jumlah penduduk 270 juta jiwa, Indonesia merupakan negara terbesar ketiga di Asia setelah Tiongkok dan India.

Kekuatan demografis ini, ditambah dengan letak geografisnya yang strategis, menjadikan Indonesia unik dalam dinamika geopolitik kawasan Indo-Pasifik.

Namun, pertanyaan yang muncul adalah: Bagaimana pemerintahan Prabo menavigasi gejolak hubungan internasional yang kompleks untuk meningkatkan status Indonesia dari negara kekuatan menengah menjadi negara adidaya?

Tur diplomatik Prabo baru-baru ini, yang mempertemukannya dengan para pemimpin Perancis, Serbia, Rusia, Turki, Tiongkok dan Jepang, memperjelas pendekatannya terhadap kebijakan luar negeri.

Kunjungan ini menyoroti strategi yang bertujuan untuk menyeimbangkan hubungan dengan negara-negara di kubu geopolitik yang berbeda.

Perancis dan Turki, yang merupakan anggota NATO, memiliki pengaruh besar baik di dalam maupun di luar Eropa, tidak seperti Rusia dan Tiongkok, yang dipandang menantang hegemoni Barat.

Jepang, sekutu setia AS, semakin memperumit matriks diplomatik ini. Komunikasi ini menegaskan prinsip kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif, yang berupaya menghindari persaingan kekuatan global sambil mendorong kerja sama dan Dilema Tiongkok yang damai

Beragamnya hubungan diplomasi yang dimiliki Prabowo dapat dilihat melalui kacamata teori interaksi kompleks dalam hubungan internasional.

Teori ini mengklaim bahwa negara-negara dan nasibnya terkait erat melalui berbagai saluran interaksi yang mencakup hubungan ekonomi, politik, dan sosial.

Di bawah kepemimpinan Prabo, pendekatan Indonesia memahami saling ketergantungan dan berupaya membangun hubungan multifaset yang dapat menahan tekanan perubahan geopolitik global.

Namun perubahan mendasar dari pendahulunya Joko Widodo (Jokowi) adalah sikap Prabo terhadap China.

Kepemimpinan Jokowi ditandai dengan hubungan yang pragmatis dan kooperatif dengan Tiongkok, dengan investasi yang signifikan dalam Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) serta kerja sama ekonomi yang luas.

Namun, Prabo mengambil langkah yang lebih hati-hati, dengan menjauhkan diri dari Tiongkok ketika ia berupaya mendiversifikasi portofolio hubungan luar negeri Indonesia.

Pendekatan hati-hati Prabo terhadap Tiongkok tidak aman dan tidak efektif. Tiongkok adalah mitra dagang terbesar Indonesia, dengan perdagangan bilateral mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya di bawah pemerintahan Jokowi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top