Nasib Migran dan Pengungsi Afrika Sub-Sahara yang Terjebak di Tunisia

Dalam beberapa tahun terakhir, Tunisia telah menjadi titik transit populer bagi para pencari suaka dari berbagai negara Afrika sub-Sahara yang ingin bermigrasi ke Eropa. Saat ini, jumlah imigran gelap asal Afrika sub-Sahara di Tunisia diperkirakan mencapai ribuan.

Para pencari suaka ini terpaksa meninggalkan negara asalnya karena berbagai konflik mulai dari perang, kekerasan hingga pemerintahan yang korup. Namun, banyak dari mereka yang masih terdampar di Tunisia tanpa bisa kembali ke Eropa atau negara asal mereka.

Dengan banyaknya migran yang terdampar, Tunisia menjadi kelebihan penduduk dan penduduk lokal mulai merasa terancam.

Baca juga: Arab Saudi Tahan 14.000 Imigran Gelap Hanya dalam 7 Hari

Sejak revolusi tahun 2011, Tunisia terus mengalami tingkat pengangguran yang tinggi. Sekitar 17% dari total penduduk Tunisia hidup di bawah garis kemiskinan. Ketika jumlah migran dan pengungsi terus meningkat, hal ini berarti penduduk lokal menghadapi persaingan yang lebih ketat untuk mendapatkan akses terhadap sumber daya yang terbatas.

Tak jarang, warga Tunisia yang kehilangan kesempatan bekerja di tempat tinggalnya terpaksa harus pergi mencari kehidupan yang layak. Misalnya, pada tahun 2023 dilaporkan sekitar 17 ribu warga Tunisia pindah ke Italia secara ilegal. Para imigran ini berasal dari daerah kelas pekerja yang penuh dengan pengungsi.

Di sisi lain, warga lokal yang masih berada di Tunisia mulai memandang imigran dan pengungsi dengan sikap negatif. Akibatnya, ketegangan antara warga lokal dengan migran dan pengungsi terus meningkat.

“Kami telah melihat milisi warga dan komunitas yang marah melancarkan serangan terhadap migran. Sesuatu terjadi… mau bagaimana lagi. Tunisia pada dasarnya telah menjadi perangkap migran,” kata Hamza Maddeb dari Carnegie Middle East Center. Migran dan pengungsi menjadi sasaran kekerasan yang dilakukan penduduk setempat.

Pencari suaka di Tunisia menghadapi tantangan baru yang seringkali melibatkan kekerasan. Penduduk setempat dilaporkan menyerang para pengungsi di kota pertanian dan perikanan Al-Amr dengan kembang api. Sebagian warga tidak suka pengungsi mengungsi di kawasan pertanian. Penduduk setempat mengatakan para petani membutuhkan lahan untuk memberi makan keluarga mereka.

Pengungsi juga menghadapi ancaman penculikan, penyiksaan dan penyelundupan setiap hari. Saat berada di pengungsian pun, para pengungsi ini mengaku tidak merasa aman karena selalu dalam pengawasan polisi yang kerap menggunakan kekerasan.

Solomon, salah satu pengungsi, mengaku melihat drone terbang saat berada di kamp Kilometer 31, sedangkan temannya, Richard, mengatakan polisi juga menyerang kamp Kilometer 34.

Tidak hanya mereka terus diawasi, para pengungsi di kamp juga berisiko tertular penyakit karena kurangnya perawatan medis. Richard dan Solomon juga tidak kebal terhadap penyakit tersebut.

“Aku sakit, kamu bisa tahu. Badanku sakit,” kata Richard. “Saya harus pergi ke rumah sakit tetapi mereka tidak membantu saya di Sfax, ini sangat sulit.”

“Saya mulai batuk tiga hari lalu. Seluruh tubuh saya sakit. Banyak orang di kamp mengalami gejala yang sama,” kata Solomon. Tidak mungkin kembali ke negara asal.

Banyak pengungsi Tunisia terpaksa menetap di kamp-kamp di luar kota Sfax atau dekat Zarzis di perbatasan Libya. Misalnya, di kebun zaitun di luar Sfax, Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) melaporkan bahwa sekitar 15.000 pengungsi saat ini berkemah di sana.

Berkemah di tempat-tempat tersebut tidaklah aman, apalagi mengingat ancaman yang mengintai di sekitarnya. Namun, mereka tidak punya pilihan.

Baca Juga: Pakistan akan mendeportasi 1,7 juta imigran gelap dari Afghanistan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top