Mewujudkan Desa/Kelurahan Bebas Stunting

Tahun 2024 akan menjadi tahun yang menentukan bagi Indonesia dalam upaya mengurangi backlog. Pada akhir pemerintahan 2019-2024, pemerintah menargetkan angka prevalensi melemah mencapai 14 persen.

Namun berdasarkan data Kementerian Kesehatan, prevalensi renang nasional pada tahun 2023 masih sebesar 21,5 persen. Angka ini hanya turun 0,1 persen dari angka prevalensi yang mencengangkan pada tahun 2022.

Lambatnya proses penurunan laju defisiensi ini menunjukkan bahwa masih terdapat hambatan dan tantangan yang cukup besar dalam upaya mengurangi laju defisiensi di Indonesia. Berbagai cara dan strategi harus diterapkan dalam upaya mengurangi kejadian keterlambatan.

Angka kejadian stunting pada tahun 2020 di dunia mencapai 22 persen atau 149,2 juta anak. Di Indonesia, angka kejadian keterlambatan pada tahun 2022 mencapai 21,6%, menurun dibandingkan tahun 2021 sebesar 24,4%.

Kekurangan mempunyai dampak yang signifikan terhadap perkembangan anak dan upaya menciptakan generasi masa depan.

Keterlambatan masa bayi berkontribusi terhadap 1,5 juta (15 persen) kematian anak di bawah usia lima tahun di dunia dan menyebabkan 55 juta anak kehilangan masa hidup sehat setiap tahunnya.

Keterlambatan tersebut berpotensi memperlambat perkembangan otak, dengan konsekuensi jangka panjang berupa keterbelakangan mental, kemampuan belajar yang buruk, dan risiko terkena penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, dan obesitas.

Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO menyebutkan setidaknya ada tiga hal yang menjadi penyebab stunting.

Pertama, karena kondisi gizi buruk yang dialami anak kecil. Hal ini terjadi ketika anak tidak mendapat cukup ASI (ASI) pada 6 bulan pertama setelah lahir.

Di Indonesia, hanya 52 persen bayi yang mendapat ASI eksklusif pada 6 bulan pertama. Hal inilah yang membuat potensi ketidakmampuan di Indonesia sangat tinggi.

Kondisi gizi buruk juga terjadi ketika anak kecil tidak mendapat asupan makanan tambahan ASI (MPASI) yang cukup pada masa emas perkembangannya.

Ketidaktahuan akan pentingnya MPASI dan cara pembuatannya dengan bahan yang murah, permasalahan keuangan dan faktor sosial budaya menjadi faktor penyebab balita tidak mendapatkan MPASI yang cukup pada masa pertumbuhan emasnya.

Kondisi gizi buruk juga terjadi karena ibu kurang memperhatikan asupan gizi pada 1000 hari pertama kelahiran (HPK).

Masih banyak ibu-ibu yang belum memahami tentang 1000 HPK dan pentingnya memberikan makanan bergizi pada 1000 HPK.

Selain itu, faktor ekonomi dan kebiasaan pemberian makanan yang kurang sehat (asalkan anak kenyang) juga turut berperan dalam rendahnya asupan gizi pada 1000 HPK.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top