Menimbang Gagasan Dewan Pertimbangan Agung

Ditulis oleh: Prof. Dr. Rasji, S.H., M.H.

Belakangan ini muncul ide pembentukan kembali Dewan Pertimbangan Agung (SAC). Ide tersebut bermula dari perbincangan mengenai pembuatan President’s Club, yaitu tempat bertemunya para mantan presiden dan wakil presiden yang fungsinya memberikan pemikiran atau masukan kepada presiden.

Gagasan klub presidensial ini disambut baik oleh beberapa pihak, antara lain presiden dan wakil presiden baru terpilih, wakil presiden definitif, dan ketua Majelis Permusyawaratan Nasional (MPR).

Ketua MPR bahkan mempertimbangkan gagasan meresmikan forum ini dengan membentuk kembali Dewan Pertimbangan Agung (SAC) yang beranggotakan mantan presiden dan wakil presiden.

Konsep pembentukan DPA terus berkembang. Pakar hukum tata negara ini menyambut baik pembentukan DPA pengganti Dewan Pertimbangan Presiden (Vandimpres).

Menurut dia, Konstitusi tidak melarang penggunaan kembali nama DPA. Setelah upaya amandemen UU No. 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden, gagasan pembentukan kembali DPA menjadi kenyataan.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) tentang perubahan UU no. 9 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden.

RUU tersebut disetujui sebagai RUU inisiatif DPR oleh Rapat Paripurna DPR. Salah satu aspek yang diatur adalah penggantian nama Dewan Pertimbangan Presiden (Vandimpres) menjadi Dewan Pertimbangan Agung (SAC).

Gagasan mengubah firma VanDimpress menjadi DPA masih menimbulkan perasaan campur aduk.

Pakar hukum tata negara lainnya menilai pembentukan DPA baru tidak sesuai dengan UUD 1945.

Urgensi dan efektivitas pembaruan DPA patut dipertanyakan karena lembaga DPA sudah ada lebih awal namun dihapuskan (dihentikan) dalam sistem ketatanegaraan pada tahun 2002 setelah amandemen UUD 1945. Keputusan Presiden Nomor 135 /M/ Tahun 2003 tanggal 31 Juli 2003.

Oleh karena itu, ada baiknya kita mencermati beberapa pertimbangan terkait gagasan dimasukkannya kembali DPA ke dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Refleksi sejarah

Sejak ditetapkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, DPA diatur dalam Bab IV Pasal 16 Dewan Pertimbangan Agung sebagai lembaga tertinggi negara.

Tugasnya menjawab pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usulan kepada Pemerintah.

Lebih lanjut, dalam klarifikasi Pasal 16, ditegaskan fungsi DPA sebagai Dewan Negara yang wajib menyelenggarakan musyawarah di hadapan Pemerintah.

Kemudian UUD 1945 diberikan undang-undang tambahan pengawasan terhadap susunan DPA.

Awalnya, DPA yang beranggotakan sebelas orang ini dibentuk pada tanggal 25 September 1945 berdasarkan proklamasi pemerintah.

Kelembagaan DPA diatur lebih lanjut dengan UU No. 3 Tahun 1967 tentang Dewan Pertimbangan Agung, diubah dengan UU No. 4 Tahun 1978 tentang perubahan dan penyempurnaan UU No. 3 Tahun 1967 tentang Dewan Pertimbangan Agung.

Sepanjang sejarah, kekhasan dan peran DPA yang mengalami pasang surut bahkan dianggap tidak ada artinya.

Oleh karena itu, pertimbangan perubahan UU DPA ditujukan untuk mencapai efisiensi dan efektivitas DPA yang maksimal.

Seiring terjadinya perubahan lingkungan pemerintahan dari pemerintahan era Orde Baru ke pemerintahan era reformasi, maka Gerakan Kedaulatan Rakyat mengkaji kembali sistem ketatanegaraan Indonesia, termasuk sistem ketatanegaraan dan kekuasaannya.

DPA merupakan salah satu lembaga otoritas negara yang dievaluasi. Hasil penilaian tersebut dituangkan dalam UUD 1945 yang telah diamandemen. Salah satu perubahannya adalah UU DPA dihapus dari ketentuan UUD 1945, artinya DPA dihapus dari sistem ketatanegaraan Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top