Menilik Warisan Geertz Melalui Pilkada

Menariknya perebutan tahta Jawa Timur (Jatim) dijadikan sebagai laboratorium untuk mengkaji warisan teori Clifford Geertz, seorang antropolog asal Amerika Serikat.

Jawa Timur merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbesar kedua setelah Jawa Barat. Jawa Timur (Pare, Kediri) juga pernah menjadi tempat penelitian Geertz yang membuat namanya terkenal.

Teori Geertz mewarnai diskusi politik Indonesia. Para pengamat, politisi, dan masyarakat umum sering menggunakannya untuk memahami dinamika politik.

Jika Geertz masih hidup dan kembali pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024, ia bisa segera mengumumkan revisinya.

Akibat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 60/PUU-XXII/2024 yang melonggarkan syarat pengangkatan kepala daerah, tiga pasangan calon gubernur (cagub)-wakil gubernur (cawagub) terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Timur 2024.

Mereka adalah Khofifah Indar Parawansa-Emil Elestianto Dardak (Khofifah-Emil), Tri Rismaharini-Zahrul Azhar Asumta (Risma-Zahrul) dan Luluk Nur Hamidah-Lukmanul Hakim (Luluk-Lukmanul).

Pasangan Khofifah-Emil didukung Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus (minus PKB). Pasangan Risma-Zahrul diusung oleh PDI-P, Partai Hanura, dan Partai Ummat. Sedangkan pasangan Luluk-Lukmanul hanya disponsori oleh PKB. Kebijakan aliran

Salah satu warisan Geertz adalah teorinya tentang politik aliran. Menurut Geertz, politik sektarian di Indonesia didirikan oleh dua orientasi agama Jawa yang dominan, yaitu “abangan (priyayi)” dan “santri”.

Antara “abangan” dan “santri” terdapat kesenjangan ideologi-politik yang tajam. Politik Indonesia pada tahun 1950an dan 1960an banyak diwarnai oleh gerakan politik ini.

Pada pemilu 1955 misalnya, para “penyewa” cenderung menyalurkan suaranya kepada PNI dan PKI. Sedangkan para “santri” cenderung mendukung partai-partai Islam seperti Masyumi, NU, PSII, Perti.

Kesenjangan ideologi-politik yang tajam ini mengakibatkan Dewan Konstituante tidak mampu merumuskan konstitusi baru untuk menggantikan konstitusi sementara.

Terakhir, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit pada 5 Juli 1959 yang berisi pembubaran Konstituante dan pemulihan UUD 1945.

Pembentukan politik Orde Baru (Orba) yang dilakukan secara otoriter bisa dikatakan berhasil menekan politik arus utama, “de-streaming”.

Partai Islam dilebur menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Partai non-Islam menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). PKI dibubarkan.

Prinsip partai juga sama. Inilah yang disebut “asas sederhana”, yaitu Pancasila. PPP yang merupakan gabungan partai Islam dilarang menggunakan Islam sebagai ideologi politik.

Orde Baru juga mendirikan organisasi politik baru yaitu Golongan Karya (Golkar). Berkat dukungan militer (TNI, Polri) dan birokrasi, Golkar selalu memenangkan pemilu Orde Baru.

Selain reformasi partai, proses “de-streaming” politik pada masa Orde Baru juga ditandai dengan banyaknya aktivis “santri” yang bergabung ke Golkar secara sukarela dan paksa.

Selain itu, gerakan perubahan pola pikir Islam juga digalakkan. Pemikiran tokoh-tokoh “santri” seperti Ahmad Wahib, Nurcholish Madjid, Harun Nasution dan Abdurrahman Wahid pada tahun 1970an dan 1980an mereduksi ideologi (politisasi) Islam.

Pada masa Orde Baru, partai politik (PPP dan PDI) mulai kehilangan perannya, termasuk dalam hal rekrutmen kepemimpinan politik. Perannya dicopot oleh militer, birokrasi, dan Golkar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top