Menguji Implementasi Strategi Nasional Pengendalian Dengue

Di tengah hiruk pikuk politik dan pemilu, hampir tanpa disadari bahwa Indonesia sedang mengalami wabah penyakit demam berdarah dengue (DBD) yang tidak biasa pada tahun 2024.

Sejak awal tahun, jumlah kasus DPD terus meningkat pesat, dan angka kematian terus menurun. Beberapa kabupaten bahkan menunjukkan situasi yang bisa dianggap darurat DBD.

Namun, sejauh ini belum ada pengobatan yang benar-benar mengerahkan seluruh sumber daya untuk mengendalikan epidemi demam berdarah.

Secara nasional akan terjadi peningkatan kasus DBD yang sangat signifikan pada tahun 2024. Hingga April 2024 atau minggu ke-17, terdapat 88.593 kasus DBD di Indonesia.

Namun pada periode yang sama tahun 2023 hanya terdapat 28.579 kasus. Artinya, peningkatan kasus DBD dibandingkan tahun lalu lebih dari 300 persen.

Begitu pula dengan jumlah kematian atau kematian akibat penyakit DBD yang dilaporkan sebanyak 621 kematian hingga minggu ke-17 tahun 2024. Faktanya, hanya 209 orang yang meninggal pada periode yang sama pada tahun 2023.

Peningkatan kasus DBD pada tahun ini juga disebabkan oleh El Niño yang saat ini sedang melanda Indonesia. Krisis iklim membuat nyamuk demam berdarah semakin menyebar dan bertahan lebih lama.

Wabah demam berdarah kali ini belum bisa dianggap normal seperti tahun-tahun sebelumnya dan besar kemungkinan pola ini akan terus berlanjut di masa depan.

Angka kematian saat wabah DBD dinilai tinggi, bahkan tiga kali lipat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Mengenai gejala yang ditimbulkan juga terdapat perbedaan dibandingkan gejala DBD sebelum Covid-19.

Berdasarkan beberapa laporan yang dikirimkan ke dunia medis, terdapat perubahan reaksi imunologi pada tubuh seseorang yang terinfeksi Covid-19.

Gejala klinis berupa bintik merah sudah tidak ditemukan lagi atau tersembunyi sehingga sulit dideteksi. Seseorang bisa mengalami demam selama tiga hari dan langsung mengalami syok tanpa gejala pendarahan.

Tidak adanya gejala klasik seperti bintik merah dan mimisan saat jumlah trombosit sudah rendah, bahkan di bawah 100, menjadi kekhawatiran baru.

Covid-19 yang dialami seseorang akan mempengaruhi daya tahan tubuh orang tersebut. Akibatnya, seseorang menjadi rentan terhadap infeksi virus dari luar, termasuk berbagai reaksi tubuh orang tersebut.

Menurut Dickie Budiman, ahli epidemiologi di Griffith University, perubahan gejala ini terutama terlihat pada kasus demam berdarah tinggi.

Di antara pasien dengan gejala “Covid-19 jangka panjang”, mereka yang telah terpapar virus dua kali lebih banyak dan belum divaksinasi berisiko mengalami perubahan gejala tersebut.

Perubahan gejala DBD dikhawatirkan menyebabkan banyak dokter atau petugas kesehatan salah mendiagnosis infeksinya sehingga menyulitkan pengobatan pasien.

Alat skrining dan deteksi yang lebih sensitif diperlukan untuk mengidentifikasi gejala yang muncul, yang harus disediakan oleh pemerintah. Dampak epidemi demam berdarah terhadap sistem layanan kesehatan dan beban biaya

Memperhatikan fenomena wabah demam berdarah tahun lalu, maka diperlukan perhatian lebih untuk mengendalikan wabah demam berdarah.

Virus yang muncul setelah pandemi Covid-19 ini diindikasikan terkait dengan infeksi Covid-19 sebelumnya pada manusia.

Sehingga dampaknya juga lebih besar karena risiko angka kematian yang tinggi. Seiring dengan fenomena cuaca, ancaman penyakit DBD tidak hanya meningkat kasusnya saja, namun dampaknya juga semakin meningkat.

Meskipun wabah demam berdarah telah memberikan beban pada sistem kesehatan masyarakat.

Peningkatan kasus DBD yang akan terjadi di Indonesia pada tahun 2024 menyebabkan peningkatan okupansi di beberapa rumah sakit, khususnya pada pasien anak.

Misalnya, RSUD Kota Bogor yang sejak awal tahun telah merawat 259 pasien DBD anak, dengan tingkat keterisian tempat tidur (BOR) sebesar 96 persen, sehingga menyisakan sedikit ruang bagi pasien anak lainnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top