Mengkaji Fenomena “Targeted Killing” Pasca-Insiden Trump dan Haniyeh

HUJAN Bulan Juni penggalan puisi Sapardi Joko Damono juga bisa kita adaptasi dalam politik global dalam Drama Politik bulan Juli.

Saya mengatakan demikian karena sepanjang bulan Juli terjadi peristiwa mengejutkan yang mengguncang dunia politik internasional.

Dalam waktu kurang dari tiga pekan, tiga tokoh politik terkemuka diancam dengan berbagai senjata. Ada yang selamat, ada pula yang meninggal.

Donald Trump, calon presiden AS, korban pertama, tertembak peluru di telinga kanannya pada 13 Juli.

Dua minggu kemudian, kejadian serupa hampir menimpa Perdana Menteri Haiti Garry Conille ketika sebuah geng menembaknya secara brutal di lokasi rumah sakit di Port-au-Prince tempat dia berkunjung. Donald Trump dan Gary Connell nyaris lolos dari kematian.

Ketiga, beberapa hari yang lalu, pada akhir tanggal 31 Juli, pemimpin politik Hamas, Ismail Abdel Salam Ahmed Haniyeh, terbunuh oleh “proyektil berpemandu udara” pada pukul 02.00 waktu setempat, setelah menghadiri pelantikan. Presiden baru Iran, Massoud Pezheshkian.

Menurut kantor berita nasional Iran IRNA, lokasi kejadian adalah gedung tempat tinggalnya di Teheran utara.

Rangkaian peristiwa ini mendorong saya untuk melakukan lebih banyak penelitian mengenai pembunuhan yang ditargetkan. Pada artikel saya sebelumnya di media ini, tepat di akhir artikel, saya sangat mempertanyakan efektivitas dan legitimasi taktik pembunuhan sasaran dalam konteks hukum internasional dan resolusi konflik.

Baca juga: Meninggalnya Haniya: Titik Balik Perjuangan Palestina dan Dinamika Timur Tengah

Ke depan, artikel ini bertujuan untuk bertanya: apakah strategi ini berpotensi melanggengkan siklus kekerasan, atau justru bisa membuka jalan bagi perubahan politik yang konstruktif? Konsep dan kontradiksi

Pembunuhan yang ditargetkan, atau yang sering disebut “pembunuhan yang ditargetkan,” telah lama menjadi alat politik yang kontroversial.

Praktik ini didefinisikan sebagai penggunaan kekuatan mematikan yang disengaja dan terencana oleh Negara atau agen-agennya terhadap individu-individu tertentu yang tidak berada dalam tahanan.

Sejarah menunjukkan bahwa taktik ini telah digunakan oleh banyak negara, mulai dari pembunuhan Julius Caesar di Roma Kuno hingga operasi intelijen modern.

Kemajuan teknologi, seperti penggunaan drone, telah meningkatkan presisi dan mengurangi risiko bagi pelakunya, namun juga menciptakan perdebatan etika yang semakin kompleks.

Bukti sejarah menunjukkan bahwa, meskipun terkadang efektif dalam jangka pendek, pembunuhan yang ditargetkan sering kali memperburuk konflik dan menimbulkan martir, seperti halnya pembunuhan Pangeran Franz Ferdinand, yang memicu Perang Dunia Pertama.

Dari perspektif hukum internasional, status pembunuhan selektif masih menjadi perdebatan sengit.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top