Mengevaluasi Program Percepatan Penurunan Stunting

Pemerintah menargetkan penurunan angka prevalensi sebesar 14 persen pada tahun 2024, tahun terakhir pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin.

Namun angka prevalensi stunting masih sebesar 21,5 persen pada tahun 2023 berdasarkan data Kementerian Kesehatan dari Survei Kesehatan Indonesia.

Dibandingkan tahun 2022, ketika angka prevalensi stunting sebesar 21,6 persen, angka prevalensi stunting hanya turun 0,1 persen pada tahun lalu.

Sedangkan antara tahun 2021 hingga 2023, penurunan prevalensi skandal bisa mencapai 2,8 persen per tahun.

Pertanyaan besarnya adalah, alih-alih mempercepat penurunan, yang terjadi justru memperlambat penurunan.

Padahal pemerintah telah membentuk Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) di seluruh tingkat pemerintahan mulai dari pusat hingga kelurahan/desa.

Fenomena lainnya adalah meningkatnya prevalensi retardasi di perkotaan dalam dua tahun terakhir.

Misalnya saja prevalensi stunting yang meningkat di Kota Depok. Begitu pula dengan wilayah Jakarta Barat yang meningkat dari 15,2 persen pada tahun 2022 menjadi 17,1 persen pada tahun 2023.

Meskipun infrastruktur dan fasilitas pelayanan kesehatan di perkotaan relatif lebih baik. Selain itu, kecukupan pangan terjamin, dan pemerintah daerah relatif lebih baik dalam menyediakan layanan dan anggaran dibandingkan kabupaten yang kaya akan pedesaan.

Pertanyaan besarnya, mengapa perkotaan yang seharusnya menjadi pendorong percepatan stunting justru meningkatkan prevalensi stunting? Skema untuk Mempercepat Pengurangan Penundaan

RPJMN tahun 2011 yang ditetapkan pada tahun 2020-2024 telah menjadikan percepatan penurunan angka keterbelakangan mental pada anak balita sebagai program prioritas pemerintah.

Target negara ini adalah mengurangi prevalensi stunting menjadi 14 persen pada tahun 2024. Untuk melaksanakan program tersebut, pemerintah telah membentuk Tim Percepatan Penurunan Stunting (TP2S) dengan Wakil Presiden sebagai Ketua Kelompok Pengarah.

Percepatan pengurangan penundaan didasarkan pada lima pilar program. Pertama, meningkatkan komitmen dan fokus kepemimpinan di Kementerian/Lembaga (K/L), Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota dan Desa).

Pilar 1 adalah memastikan pencegahan keterlambatan diprioritaskan oleh pemerintah di tingkat pusat, daerah, dan desa.

Kedua, meningkatkan komunikasi tentang perubahan perilaku dan pemberdayaan masyarakat. Pilar kedua adalah meningkatkan kesadaran dan pemahaman serta mendorong perubahan perilaku untuk mencegah eskalasi.

Pilar ketiga adalah meningkatkan konvergensi lintas kementerian/lembaga, pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota dan desa) dalam hal intervensi spesifik dan intervensi sensitif, yang bertujuan untuk memperkuat konvergensi dengan mengkoordinasikan dan mengintegrasikan program dan kegiatan pusat, daerah, dan desa.

Pilar keempat adalah meningkatkan ketahanan pangan dan gizi pada tingkat individu, keluarga, dan masyarakat, dengan meningkatkan akses terhadap pangan bergizi dan mendorong ketahanan pangan.

Pilar kelima adalah penguatan dan pengembangan sistem, data, informasi, penelitian dan inovasi yang ditujukan untuk meningkatkan monitoring dan evaluasi yang menjadi landasan menjamin mutu pelayanan, peningkatan akuntabilitas dan percepatan pembelajaran.

Program percepatan pengurangan keterlambatan ini akan dilaksanakan melalui fokus obyektif dan fokus regional.

Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa intervensi yang dilakukan efektif dalam mencegah penundaan baru.

Oleh karena itu, program ini berfokus pada 1000 hari pertama kehidupan (DHL), dengan fokus intervensi pada ibu hamil, ibu menyusui, dan bayi hingga usia 23 bulan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top