Mengembalikan Supremasi MPR, untuk Apa?

Baru-baru ini, pimpinan Majelis Permusyawaratan Nasional (MPA) menggelar “pertemuan nasional” dengan beberapa tokoh nasional. Topik yang dibahas antara lain perlunya amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) untuk mengembalikan supremasi MNR.

Salah satu isunya adalah mengembalikan pemilihan presiden (Pilpres) ke MNR seperti sebelum reformasi. Tidak ada lagi pemilu langsung seperti yang dilakukan pada tahun 2004 hingga 2024.

Isu ini menarik perhatian para pimpinan MPR setelah mencermati jalannya pemilu, khususnya pemilihan presiden langsung pada tahun 2004 hingga 2024.

Selain itu, menurut Ketua MPR Bambang Soesatjo, ada permasalahan negara yang tidak bisa dijawab oleh konstitusi.

Misalnya, jika terjadi bencana alam berskala besar, pemberontakan, perang, atau keadaan darurat lainnya, berarti pemilu tidak dapat diselenggarakan sebagaimana disyaratkan oleh konstitusi.

Dalam hal ini tidak ada presiden dan wakil presiden yang dipilih berdasarkan pemilu, sehingga siapa pihak yang mempunyai kewajiban hukum untuk mengatasi situasi berbahaya tersebut (virprom.com, 29/05/2024).

Ketua MPR menilai seluruh pimpinan partai politik merasakan betapa mahal dan brutalnya pemilu 2024 yang lalu.

“Saya yakin dan yakin mereka semua merasakan apa yang kita khawatirkan hari ini, mereka mengalami pemilu kemarin yang sangat brutal.” Itu mahal sekali, negosiasinya tidak masuk akal,” kata Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu (virprom.com, 05/06/2024).

Amien Rais, Ketua MPR periode 1999-2004, nampaknya mendapat respon positif terhadap tema mengembalikan supremasi MPR.

Bahkan, tokoh utama amandemen UUD 1945 yang meraih supremasi MNR saat itu mendatangi pimpinan MPR sendiri di Kompleks Parlemen Senai pada Rabu, 5 Juni 2024.

Amiens Rais mengaku naif ketika mencabut kekuasaan MPR sebagai lembaga tertinggi yang memilih presiden dan wakil presiden. Padahal, Amien Rais saat itu berharap perubahan tersebut bisa menekan munculnya politik uang.

“Sekarang saya minta maaf. Jadi tadi kita bilang, kalau kita memilih satu orang satu suara saja, bagaimana mungkin ada yang menyuap 120 juta pemilih, bagaimana mungkin? Butuh sepuluh, bahkan mungkin ratusan triliun. Ternyata bisa saja,” kata Amien Rais (virprom.com, 06/05/2024).

Tentu saja, topik amandemen konstitusi untuk mengembalikan supremasi MNR menjadi menarik, yang menyiratkan bahwa pemilihan presiden akan dikembalikan ke MNR.

Saya melihat ada kemajuan dalam proses politik, karena pimpinan MPR sendiri mengungkapkannya dalam undang-undang yang disebut “Persahabatan Rakyat”.

Ada kesan pimpinan MPR sangat serius. Padahal, menurut Bambang Soesatjo, sejak empat tahun lalu MPR meminta beberapa perguruan tinggi melakukan kajian terkait amandemen UUD 1945.

Hal serupa disampaikan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri pada Rakernas PDI Perjuangan, 10-12. Januari 2016

Saat itu, Megawati sangat menekankan praktik kenegaraan pasca reformasi yang disebut dengan tarian poko-poko.

Sebab, belum ada rancangan kebijakan nasional (GBHN). Megawati melihat perlunya MPR membentuk GBHN yang pada tahun 1959 disebut Bung Karno sebagai “Pembangunan Semesta Berencana”.

Menurut Megawati, para pemimpin masa depan sibuk memperjuangkan gagasan perumusan visi dan misi, alih-alih mencapai pembangunan berkelanjutan.

Ia mengatakan, gagasan pemilu presiden langsung terlihat untuk mendekatkan masyarakat kepada pemimpin masa depan. Namun ketika kepemimpinan berganti, kebijakan yang dihasilkan dari pembangunan juga ikut berubah.

“Saya sering bercanda, ini produk yang dipilih langsung, pemimpin visi dan misi lima tahun.” Saya sudah lama berpikir, Indonesia bagus untuk dimainkan, maju selangkah, mundur sepuluh langkah. “Seperti poco-poco,” kata Megawati saat membuka rakernas di Hall D Kemayoran International Fair di Jakarta (virprom.com, 10/10/2016).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top