Menakar Gagasan Gubernur Tak Lagi Mewakili Pemerintah Pusat

Mengingat kekuatan kekacauan dan kesulitan dalam pelaksanaan pemilu presiden dan parlemen yang dilaksanakan pada bulan Februari 2024 telah memudar, dan pada bulan November 2024 masyarakat akan menghadapi 37.415 peristiwa politik di 93 kota.

Khusus di tingkat provinsi, hasil pilkada serentak di seluruh provinsi kecuali Daerah Istimewa Yogyakarta akan mengubah bintang politik daerah dan menjadi awal pembangunan negara lima tahun ke depan. Gubernur – Wakil Presiden dan Gubernur – Wakil Gubernur.

Dalam pelaksanaan pembangunan nasional, kegiatan integrasi lokal dan regional sering disebut-sebut sebagai syaratnya.

Dalam konteks desentralisasi, presiden sebagai kepala pemerintahan memberikan sebagian tanggung jawab pemerintah kepada gubernur dalam kekuasaannya untuk mengubah pemerintahan dan melaksanakan arah kebijakan pusat yang terbaik di tingkat daerah.

Dalam konteks ini, peran gubernur provinsi hanya dapat dibaca sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, yang bertanggung jawab atas efektivitas pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat.

Tidak masalah jika walikota berasal dari partai politik yang berbeda dari presiden atau “koalisi yang berkuasa”.

Namun, sebagai bagian dari tuntutan pelaksanaan otonomi daerah pasca reformasi tahun 1998, desentralisasi juga diperkuat dengan menempatkan gubernur pada jabatannya sebagai presiden daerah daerah otonom.

Dalam jabatan tersebut, gubernur diberi kesempatan untuk memperjuangkan tuntutan, kebutuhan, dan kesepakatan politik terkait kepentingan khusus daerahnya, yang tidak lepas dari garis politik pemerintah pusat.

Tarik menarik antara penerapan prinsip-prinsip desentralisasi dan desentralisasi tidak dapat dihindari, sehingga menempatkan gubernur provinsi pada posisi yang sulit. Pandemi Covid-19 adalah salah satu contohnya.

Pada awal Pagebluk, banyak gubernur yang menerapkan “lockdown” di daerahnya, terlepas dari perintah pemerintah pusat, sebagai prinsip desentralisasi.

Situasi ini menunjukkan bahwa berkali-kali para gubernur tersebut terdorong untuk ‘menggunakan’ kekuasaannya sebagai gubernur daerah akibat pemilihan langsung oleh rakyat (Budi & Anshari, 2020).

Oleh karena itu timbul gagasan untuk mengubah peraturan perundang-undangan daerah yang salah satunya adalah dengan mengurangi peran gubernur sebagai kepala daerah otonom dan wakil pemerintah pusat (provinsi) dalam sistem daerah tak berbadan hukum (Maksum). ., 2024) ), perlu diapresiasi.

Gagasan tersebut tampaknya menjadi alasan utama keinginan untuk mengangkat kepala eksekutif langsung oleh presiden guna melakukan desentralisasi pemerintahan dan menuntut hak-hak demokrasi masyarakat selama pemilu provinsi berlangsung. Poin penting

Menariknya, dampak pembagian kerja ini menyebabkan terciptanya jabatan dan institusi baru seperti platform perwakilan pemerintah federal di tingkat kabupaten yang tidak lagi ditempati oleh gubernur kabupaten.

Meskipun peran pemimpin sebagai wakil pemerintah pusat (GWPP) didukung oleh sekretariat dan staf sebagaimana tertuang dalam Instruksi Umum Nomor 33 Tahun 2018, namun pada kenyataannya dilakukan secara bersamaan. Departemen Provinsi mempunyai tugas dan tanggung jawab serupa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top