Melihat Rencana Ambisius China Tangani Krisis Properti

Pasar properti Tiongkok sedang menghadapi kemerosotan sejak kebijakan ketat dikeluarkan beberapa tahun lalu untuk membatasi pinjaman berlebihan oleh pengembang properti. Akibatnya, banyak pengembang properti yang gagal membayar pinjamannya. Rencananya belum selesai tetapi harus dihentikan.

Pendekatan ini mempengaruhi pengembang properti dan banyak bisnis lainnya, mulai dari peralatan rumah tangga hingga konstruksi.

Krisis properti menjadi perhatian besar karena sektor ini memainkan peran penting dalam perekonomian Tiongkok (berkontribusi sekitar 30 persen terhadap perekonomian negara). Meski perekonomian Tiongkok masih bisa tumbuh, namun perkembangannya masih belum optimal karena terbebani oleh krisis aset yang kronis.

Untuk mengatasi hal tersebut, Beijing telah meluncurkan rencana ambisius yang ditunggu-tunggu oleh para pengembang properti. Rencana tersebut berfokus pada penerapan pendekatan yang sebelumnya telah diuji di kota-kota besar, mendorong pemerintah daerah untuk membeli rumah yang tidak terjual dari pengembang dan mengubahnya menjadi perumahan umum yang terjangkau. Untuk menyukseskan rencana tersebut, bank sentral berupaya menyiapkan dana sebesar 300 miliar yuan (Rp 664 triliun).

Baca Juga: Krisis Properti China, Evergrande Semakin Tertekan

Selain pembelian rumah kosong, skema ini juga menurunkan suku bunga KPR dan rasio uang muka.

Rencana tersebut cukup ambisius mengingat besarnya dana yang harus mereka keluarkan. Namun, pemerintah Tiongkok sangat berkomitmen terhadap rencana tersebut. Saat ini, menstabilkan sektor properti menjadi prioritas utama Tiongkok. Mereka perlu segera menyelesaikan krisis ini untuk menghidupkan kembali pertumbuhan ekonomi negara.

“Para pembuat kebijakan menyadari pentingnya menghindari krisis aset dalam waktu dekat,” kata Zhaopeng Jing, ahli strategi senior Tiongkok di ANZ Research. “Rencana penyelamatan baru ini menunjukkan tekad para pembuat kebijakan.” Ambisius tetapi tidak cukup

Meskipun rencana pemerintah Tiongkok saat ini ambisius, para ahli berpendapat bahwa upaya ini tidaklah cukup. Para ahli merasa bahwa skala proyek ini masih terlalu kecil untuk dapat berjalan secara efektif.

Ada juga kemungkinan besar untuk mendapatkan sanksi hibah di tengah-tengah program.

Menurut data Goldman Sachs, total nilai rumah yang belum terjual, proyek yang belum selesai, dan lahan yang belum terpakai di Tiongkok telah mencapai 30 triliun yuan (Rp. 66.400 triliun).

Analisis Goldman mengungkapkan bahwa Tiongkok membutuhkan setidaknya 7 triliun yuan (Rp 15,493 triliun) di seluruh kota jika sektor properti ingin pulih dari puncak booming pasar properti pada tahun 2018. Jumlah ini 20 kali lebih banyak dari angka yang diumumkan bank sentral.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top