Legalisasi Represi Transnasional dalam “UN Cybercrime Treaty”

Dalam waktu kurang dari seminggu, komunitas internasional akan memiliki alat internasional baru untuk melawan kejahatan dunia maya. Perundingan instrumen ini dimulai pada 29 Juli 2024 dan akan memasuki sidang terakhir pada 9 Agustus 2024.

Namun setelah hampir 2,5 tahun diperdebatkan, instrumen yang dikenal sebagai “Konvensi PBB Melawan Kejahatan Dunia Maya” masih menuai kritik dari perusahaan teknologi, aktivis keamanan siber, dan aktivis hak asasi manusia.

Organisasi hak asasi manusia bahkan menyebut perjanjian tersebut sebagai “perjanjian pengawasan global” dan bukan “perjanjian kejahatan dunia maya” karena lemahnya mekanisme kontrol terhadap praktik pengawasan.

Ada pula yang berpendapat bahwa perjanjian tersebut berpotensi memperburuk proses represi internasional yang saat ini sedang berlangsung di berbagai negara di dunia. Kontroversi Konvensi PBB tentang Kejahatan Dunia Maya

Rusia awalnya menyerahkan perjanjian tersebut kepada Sekretaris Jenderal PBB pada tahun 2017. Rusia menginginkan peraturan yang dapat menghilangkan kejahatan dunia maya secara komprehensif.

Kremlin mengusulkan judul “Konvensi Internasional tentang Pencegahan Penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Tujuan Kriminal”.

Nama ini mewakili cybercrime, yang tidak terbatas pada cybercrime jika mengacu pada Konvensi Budapest tentang Cybercrime tahun 2001.

Pada tahun 2019, Majelis Umum PBB berhasil mengeluarkan resolusi yang diusulkan oleh Rusia dan beberapa negara otoriter lainnya. Majelis Umum PBB kemudian membentuk komite ad hoc (AHC) untuk menyusun perjanjian tersebut.

Proses negosiasi kemudian dimulai pada tahun 2022 dan tercatat sudah enam kali dilakukan.

Bagi banyak negara, perjanjian ini penting karena kejahatan dunia maya terus meningkat dan metodenya terus berkembang. Kejahatan dunia maya yang bersifat internasional memerlukan penyelidikan dan penegakan hukum eksternal.

Misalnya saja di kawasan Asia Tenggara, tindak pidana Perdagangan Orang (TPPO) sebagian besar didukung oleh platform media sosial.

Sifat eksternal ini memerlukan koordinasi yang kuat dan jelas dengan pemerintah negara lain. Oleh karena itu, gagasan perjanjian internasional tentang kejahatan siber sangat relevan sebagai kerangka umum dan instrumen hukum internasional baru sebagai landasan normatif.

Namun penegakan hukum dalam bentuk apa pun, termasuk kejahatan siber, tetap harus dilakukan dengan menghormati nilai-nilai dan perangkat hak asasi manusia yang ada.

Sayangnya, jaminan penghormatan terhadap hak asasi manusia tidak ada dalam proposal yang diajukan saat ini. Hal ini terutama terlihat pada topik yang berkaitan dengan pelacakan. Ada empat alasan mengapa entitas yang dilacak sangat berbahaya:

Pertama, meskipun rancangan ini menekankan bahwa pemantauan harus proporsional dan tidak berlebihan, rancangan undang-undang yang ada saat ini tidak menyebutkan prinsip-prinsip penting lainnya yang harus diikuti oleh negara ketika melakukan pembatasan hak asasi manusia.

Asas legalitas, asas keharusan, dan asas non-diskriminasi tidak disebutkan. Artinya, negara dapat melakukan pengawasan pada tataran hukum tanpa ada pengaturan hukum, yang dilakukan secara partisipatif, mudah diakses, dengan bahasa yang mudah dipahami dan isinya tidak bertentangan dengan hak asasi manusia.

Selain itu, negara tidak berkewajiban untuk menggunakan pengawasan sebagai upaya terakhir jika tindakan lain yang tidak membatasi hak asasi manusia tidak dapat diambil.

Tidak adanya prinsip non-diskriminasi juga meningkatkan kemungkinan bahwa pengawasan hanya ditujukan terhadap kelompok-kelompok penting seperti pembela hak asasi manusia, jurnalis, dan oposisi politik.

Kedua, penggunaan istilah yang tidak jelas seperti “pantas” menjadikan ketentuan perlindungan hak asasi manusia dalam perjanjian tersebut bersifat opsional. Oleh karena itu, perlindungan hak asasi manusia kembali lagi pada hukum dan kebijakan nasional masing-masing negara.

Beberapa ketentuan tentang perlindungan hak asasi manusia, yang memang dapat membatasi penyalahgunaan aturan ini oleh negara, namun bersifat opsional, bersifat yudisial atau independen, artinya hakim yang independen juga mengawasi atau harus ditinjau oleh regulator. sebagai hak untuk menjadi efektif. upaya hukum, artinya warga negara mempunyai hak untuk menuntut atau meminta ganti rugi jika haknya dilanggar.

Ada juga kemungkinan untuk membenarkan pembatasan tersebut, yang berarti harus ada alasan yang jelas atas pemantauan dan informasi dari negara yang membatasi ruang lingkup dan durasi pemantauan.

Ketiga, tidak adanya ketentuan substantif yang dijadikan prasyarat pengawasan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan pengawasan oleh negara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top