Kontroversi “Raja Jawa” di Tengah Pergolakan Politik

SETELAH Raja neplak (Jawa, buka mulut sembarangan) atau Ratu ceblang-ceblung (Jawa, ngomong apa saja) sesumbar dirinya adalah “Raja Jawa”, pada Kamis, 22 Agustus 2024, di Solo dan Yogyakarta, terjadilah keributan. demonstrasi. bahan tambahan berupa bendera yang sangat menentang “Raja Jawa”.

Kecaman terhadap para pengunjuk rasa semakin keras dan bahkan sampai ke langit ketujuh. Apalagi di Solo dan Yogyakarta, tempat tinggal raja-raja Jawa yang sebenarnya.

Beberapa pengunjuk rasa mengatakan mereka akan terus berdemonstrasi. Pada Jumat, 23 Agustus 2024, saya bertemu dengan beberapa pengunjuk rasa yang sedang berjalan dari luar gedung TVRI Senaian Jakarta menuju pintu masuk gedung DPR yang sehari sebelumnya dibobol oleh pengunjuk rasa.

Ketika saya bertanya tentang seseorang yang pernah menghina “Raja Jawa”, seorang pengunjuk rasa yang lewat berkata dengan wajah serius, “Oh, itu yang dikatakan Raja Ngeplaku.”

Pengunjuk rasa lainnya yang berjaket biru membosankan menjawab: “Yang berbicara tentang raja Jawa adalah ratu ceblang-ceblung (bahasa Jawa hanya sekedar berbicara).”

Di sisi Gedung DPRD Senajah Jakarta, saya bergerak mengamati demonstrasi di depan gedung Komisi Pemilihan Umum (GEC) di Jalan Imam Bonjol, yang di depannya (di batas jalan) terdapat benteng beton dan kawat berduri telah dipasang. mendirikan

Demonstrasi tersebut berlangsung cukup seru. Saya menyerah untuk ngobrol dengan para pengunjuk rasa karena mereka tampak sibuk berdemonstrasi.

Saya hanya menonton sampai malam, membayangkan KPU pernah dipimpin oleh seseorang yang dipecat karena melakukan perbuatan tercela.

Peralihan dari ketua KPU yang digulingkan menjadi penjabat Ketua KPU berlangsung cepat, karena komisioner KPU mengatakan, “Kami seperti keluarga di sini,” sehingga transisi berjalan lancar.

Pada hari Sabtu, 24 Agustus 2024, saya menghubungi teman-teman jurnalis yang sedang mengikuti demonstrasi di kedua kota tersebut.

Saya juga menghubungi para pengunjuk rasa di dua kota tempat bermarkasnya raja-raja Jawa setelah Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755 yang membagi kerajaan Mataram menjadi dua dan kemudian empat bagian.

Banyak orang Jawa yang percaya bahwa kerajaan Mataram merupakan kelanjutan dari kerajaan Singosari dan Majapahit (Jawa Timur).

Yang saya hubungi adalah Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Sebelas Maret Solo (UNS), Agunga Lukia Pradit.

Dia mengatakan, sedikitnya 1.000 pengunjuk rasa ikut aksi unjuk rasa di depan Balai Kota Solo pada Kamis, 22 Agustus 2024.

Selain berbicara mengenai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pengaturan pengangkatan kepala daerah dan rapat paripurna DPR untuk pengesahan versi UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada), Presiden BEM UNS lebih banyak bercerita tentang jalannya aksi demonstrasi, nyanyian, dan spanduk besar yang dibawanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top