Keroposnya Rekrutmen Jabatan ASN di Balik Kasus SYL

Artikel “Saya Menteri…” (virprom.com, 29/06/2024) karya jurnalis senior Budiman Tanuređ membawa saya seolah memasuki time warp.

Saya ingat Soe Hok Jin atau Arif Budiman. Aktivis kelas 1966 ini menggunakan kata ‘eneg’ ketika menggambarkan suasana akhir pemerintahan Orde Baru.

Ekspresi kemarahan Taufik Ismail masih terlihat jelas saat membacakan puisi “Aku Malu Jadi Orang Indonesia”.

Karena saya juga merasa tidak nyaman, saya memutuskan untuk tidak menjawab. Saat sarapan pagi di Hotel Metropolitan di Ikebukuro, Tokyo, seorang teman warga Singapura mengangkat isu tingkat korupsi di Asia.

Meminjam bahasa ibu saya dari palembang, cukup nyenggigi (senyum masam sambil menundukkan wajah).

Nyenggigi juga menjadi jawaban terbaik saya ketika pejabat di Kantor Ekonomi dan Perdagangan Taipei di Jakarta memberi tahu saya sebelum berangkat ke Taiwan.

“Jangan pernah korupsi,” ujarnya sambil mengacungkan jari tengah dan telunjuknya ke atas dan ke bawah. Cermin ASN yang tidak adil

Bisa saja kita menghina Syahrul Yasin Limpo (SYL) sebagai orang yang tamak, maksiat, dll.

Tapi tunggu sebentar. Bos saya, seorang deputi yang punya ponsel menyebalkan hingga harus diikat dengan karet gelang, pernah mengatakan bahwa jika karyawan mengikuti setiap keinginan atasan, itu bisa menjadi tanda bahwa bawahan tidak setia. Kartu as?

Ya, andai saja Prihasto Setyanto, Suwandi, Bambang Pamuji, Andi Muhammad Idil Fitri, dan Edi Eko Sasmito yang notabene Aparatur Sipil Negara (ASN) punya niat baik untuk melindungi atasannya, pasti berani bilang “tidak” untuk memenuhi SYL. keinginan yang di luar nalar.

Bukannya menyelamatkannya, mereka malah membuat SYL sakit.

Hilangnya keberanian Prihast Setyant, Suwandi, Bambang Pamuji, Andi Muhammad Idil Fitri, dan Edi Eko Sasmit untuk mengatakan “tidak” mengakibatkan hilangnya uang pemerintah sebesar Rp 44,5 miliar untuk mendanai kepentingan pribadi SYL.

Mereka terpaksa menyisihkan uang perjalanan bersama atau fiktif untuk membayar gaji pembantu, menyewa jet pribadi, umrah, perjalanan ke Brazil dan Amerika, membeli hewan kurban dan kebutuhan SYL dan keluarga lainnya.

Kata-kata seperti: siap, ya, enggeh, lakukan di ormas sudah dimaknai sebagai ungkapan kesetiaan.

Faktanya, kata ‘tidak’ mungkin mencerminkan tingkat kesetiaan yang lebih besar karena dikaitkan dengan nilai-nilai keberanian dan risiko.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top