Indonesia Perlu Menghidupkan Diplomasi Preventif di Laut China Selatan

Indonesia memiliki pengalaman panjang dalam menerapkan diplomasi preventif untuk mengurangi ketegangan dan mencegah eskalasi konflik di Laut Cina Selatan.

Oleh karena itu, Indonesia kini perlu menghidupkan kembali kendali diplomasi berdasarkan pengalaman tersebut.

Diplomasi preventif yang dilakukan Indonesia sangat penting untuk mengurangi ketegangan antar negara yang bersengketa di Laut Cina Selatan.

Hingga saat ini, Tiongkok, Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Taiwan masih terlibat sengketa wilayah di Laut Cina Selatan.

Permasalahan tersebut tidak hanya mengganggu hubungan bilateral antar negara yang bersengketa, namun juga menimbulkan ketidakstabilan keamanan kawasan.

Pada bulan Maret 2024, misalnya, Tiongkok dan Filipina kembali bentrok terkait blokade yang dilakukan kapal patroli Penjaga Pantai Tiongkok terhadap pengangkut logistik Filipina.

Saat itu, saat kapal Filipina memasuki Ren’i Jiao di Laut Cina Selatan, pihak Tiongkok memblokir kapal tersebut dan kemudian menembakkan meriam air ke kapal Filipina tersebut.

Pemerintah Tiongkok mengklaim Ren’i Jiao adalah bagian dari wilayahnya. Oleh karena itu, Tiongkok memandang masuknya kapal logistik Filipina ke Renai Jiao sebagai pelanggaran kedaulatan Tiongkok.

Pemerintah Filipina mengecam klaim sepihak Tiongkok. Bagi Filipina, blokade Tiongkok terhadap kapal Filipina bukan hanya ilegal, tapi juga tidak bertanggung jawab.

Filipina juga mengklaim bahwa Tiongkok melanggar kedaulatan Filipina dengan memblokir dan mengusir kapal logistik Filipina dari Ren’i Jiao.

Filipina dan Tiongkok telah beberapa kali bertikai terkait sengketa Laut Cina Selatan. Pada Oktober 2023, kapal penjaga pantai Tiongkok bertabrakan dengan kapal penjaga pantai Filipina di Ayungin Bating atau Second Thomas Reef di Laut Cina Selatan.

Berdasarkan klaim pemerintah China, tabrakan tersebut terjadi ketika kapalnya berusaha mencegat kapal Filipina yang sedang mengantarkan pasokan logistik ke kapal Filipina di kawasan tersebut. Tiongkok mengklaim bahwa kapalnya beroperasi sesuai dengan “hukum”.

Bagi Tiongkok, hukum yang berlaku di Laut Cina Selatan adalah hukum yang berdasarkan “sembilan garis putus-putus”.

Sembilan garis putus-putus adalah batas imajiner di Laut Cina Selatan yang digunakan pemerintah Tiongkok untuk mengklaim wilayah kedaulatannya.

Berdasarkan perbatasan imajiner tersebut, pemerintah Tiongkok mengklaim warga negaranya mempunyai hak untuk melakukan aktivitas, termasuk penangkapan ikan, di Laut Cina Selatan.

Tiongkok mengklaim Laut Cina Selatan sebagai bagian wilayahnya karena adanya sembilan garis putus-putus di petanya sejak tahun 1947.

Berdasarkan garis putus-putus, China mengklaim kepemilikan beberapa pulau di Laut China Selatan yang pernah dikuasai Jepang pada Perang Dunia II.

Oleh karena itu, Tiongkok mengklaim mempunyai “hak historis” atas wilayah teritorial di Laut Cina Selatan.

“Hak-hak historis” ini tidak diakui oleh negara-negara yang bersengketa dengan Tiongkok. Bagi mereka, sembilan garis putus-putus tidak sah karena tidak diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan tidak tertulis dalam UNCLOS, Konvensi PBB tentang Hukum Laut.

Klaim sembilan garis putus-putus juga ditolak oleh Mahkamah Internasional pada tahun 2016. Namun bantahan tersebut tidak digubris oleh Tiongkok.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top