Hukum dan Politik dalam Dinamika Pembentukan UU

“Hukum yang mendominasi kehidupan bermasyarakat bukanlah hukum yang ditegakkan oleh pengadilan, melainkan hukum yang hidup dalam hati nurani masyarakat.” – Eugene Ehrlich dalam bukunya Fundamentals of Legal Sociology (1913)

Menurut Eugen Ehrlich, hukum yang nyaman dan mudah diterima oleh masyarakat adalah hukum yang didasarkan pada nilai-nilai, adat istiadat, dan praktik yang telah teruji dan diterima oleh masyarakat.

Artinya, proses politik pembuatan undang-undang harus menjadi sarana bagaimana nilai-nilai yang dianut masyarakat diterjemahkan ke dalam undang-undang yang baku, sehingga undang-undang tersebut dapat ditegakkan dengan baik.

Senada dengan hal tersebut, dalam bukunya “Perjuangan Politik dan Hukum Indonesia” (1999), Prof. Mahfoud, M.D. mengungkapkan pemikirannya yang mendalam tentang hubungan antara politik dan hukum.

Ia menekankan bahwa “Politik tanpa hukum menimbulkan kesewenang-wenangan dan kekacauan, sedangkan hukum tanpa politik melumpuhkan”.

Deklarasi ini menekankan pentingnya keseimbangan politik dan hukum dalam menciptakan sistem pemerintahan yang adil dan berfungsi dengan baik.

Dengan kata sederhana, Prof. Mahfoud mengingatkan kita bahwa hukum dan politik tidak bisa dipisahkan. Hukum memerlukan dukungan kekuatan politik untuk penegakan hukum yang efektif.

Tanpa politik, hukum hanya akan menjadi kumpulan aturan tanpa wewenang untuk mendukung penegakan hukum.

Sebaliknya kebijakan yang tidak berdasarkan undang-undang cenderung kalah dan menyimpang. Politik memerlukan norma hukum yang menentukan batas kekuasaan dan arah politik.

Namun politik sering kali lebih unggul daripada hukum dalam kehidupan nyata. Hal ini menyebabkan hukum yang seharusnya menjadi alat penegakan keadilan dan penyelenggaraan pemerintahan justru menjadi alat kekuasaan yang melayani kepentingan segelintir orang.

Seringkali politik menangkap peran hukum dan menjadikannya sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu yang tidak selalu mempertimbangkan kepentingan publik.

Di atas kertas tampak adil, namun kenyataannya terlihat jelas dalam berbagai kebijakan dan undang-undang yang menguntungkan kelompok tertentu dan mengabaikan kepentingan masyarakat secara keseluruhan.

Kita bisa melihat contoh-contoh hukum yang dipolitisasi dalam berbagai kasus sehingga merugikan masyarakat, termasuk masyarakat hukum adat.

Misalnya, pembebasan lahan untuk proyek infrastruktur merupakan contoh nyata ketimpangan ini.

Proyek-proyek besar seperti pembangunan jalan tol dan bandara seringkali melibatkan sengketa lahan dengan masyarakat setempat.

Di Jawa Barat, proyek Tol Cisumdavu memicu konflik dengan masyarakat yang merasa haknya diabaikan. Di sini, hukum seharusnya melindungi hak asasi manusia, namun kepentingan politik dan ekonomi lebih diutamakan dalam pengambilan keputusan hukum, sehingga merugikan pihak yang lemah.

Selain itu, perlakuan terhadap aktivis lingkungan hidup mencerminkan ketidakseimbangan antara politik dan hukum.

Aktivis yang menentang proyek pertambangan dan pertanian akan menjadi sasaran intimidasi hukum dan penganiayaan oleh kepentingan politik dan ekonomi.

Kasus-kasus di Sumatera dan Kalimantan di mana petani dan aktivis lingkungan hidup ditindas karena menentang kepentingan besar menunjukkan bagaimana undang-undang dapat digunakan sebagai alat untuk menekan oposisi terhadap kepentingan politik.

Kasus-kasus ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga keseimbangan antara politik dan hukum agar keduanya dapat berjalan dengan baik.

Jika tidak, hukum akan kehilangan perannya sebagai instrumen keadilan, dan kepentingan politik dapat mengesampingkan kepentingan masyarakat luas. Proses politik pembuatan undang-undang

Penggunaan hukum sebagai alat politik merupakan fenomena yang tidak bisa diabaikan dalam sistem hukum Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top