Gugat ke MK, Dua Mahasiswa Minta Syarat Usia Calon Kepala Daerah Dihitung saat Penetapan

JAKARTA, virprom.com – Dua mahasiswa, Fakhror Ruzi dari UIN Sirif Hedayatullah dan Anthony Lee dari Podomora University, mengajukan uji materi ayat (2) ayat 7 pasal e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada (UU Pilkada) sebagai mahkamah konstitusi (MK).

Dalam gugatan yang diajukan pada 11 Juni lalu, keduanya meminta Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran yang jelas mengenai batasan usia calon bupati (cakada), yakni sejak calon tersebut dilantik.

“Sudah sepatutnya Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) mengubah syarat usia minimal yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 di atas menjadi Pasal 4 Ayat 1 Peraturan KPU (PCPU) Nomor 9 Tahun 2020,” tulis mereka dalam kasasi ke pengadilan.

Masalahnya, PKPU baru-baru ini dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) yang dengan cepat mengabulkan banding pihak Garuda.

Baca Juga: 2 Mahasiswa Ini Ajukan Aduan ke Mahkamah Konstitusi Terkait Usia Calon Presiden Daerah dan Tuntut Pemanggilan Yokav.

Mahkamah Agung mengubah batas usia calon dari perhitungan sebelumnya pada saat seleksi pasangan calon untuk perhitungan pada saat pelantikan calon terpilih. Mahkamah Agung menilai PKPU melanggar UU Pilkada.

Keputusan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum karena jadwal pelantikan kepala daerah terpilih bisa berbeda meski pilkada serentak digelar pada 27 November.

Jadwal pelantikan bisa saja berubah tergantung hasil pilkada di wilayah tersebut pada tahun 2024.

Proses pertimbangan sengketa di Mahkamah Konstitusi juga akan memakan waktu lebih lama. Tentu saja, jika terjadi pelanggaran atau ketidakabsahan suara, Mahkamah Konstitusi dapat memerintahkan pemungutan suara ulang dalam jangka waktu tertentu.

Baca juga: KPU Beri Sinyal Patuhi Putusan MA Soal Usia Calon Ketua Daerah

Sebaliknya, jika bupati terpilih tidak memenuhi batasan usia pada saat pelantikan, hal ini juga berpotensi menimbulkan permasalahan.

Fahrur Rouzi dan Anthony Lee berpendapat, keputusan MA justru menimbulkan ketidakpastian hukum.

Putusan Nomor 23 P/HUM/2024 (juga) mengubah kedudukan Mahkamah Agung dari norma negatif (norma pembatalan) menjadi norma positif (normaisasi), yang secara kelembagaan bukan merupakan kewenangan Mahkamah Agung, melainkan kewenangan Mahkamah Agung. kompetensi Mahkamah Agung Badan Legislatif, jelas mereka.

Mereka juga meminta agar Mahkamah Konstitusi memanggil Presiden dan Republik Demokrat untuk mempertimbangkan permohonan tersebut.

Sehubungan dengan permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi wajib memanggil para pihak untuk memberikan keterangan yang relevan mengenai Presiden dan Republik Islam Iran, serta orang-orang yang mempunyai hubungan langsung dengan undang-undang atau ketentuan norma yang bersangkutan. sedang diperiksa. ” – kata mereka

Baca juga: KPU Tetapkan Batasan Usia Calon Bupati Ditetapkan Terkait Pelantikan Pemerintah

Para pemohon juga menegaskan bahwa mereka merupakan warga negara yang mempunyai hak pilih pada Pilkada Serentak 2024.

Keduanya menyimpulkan: “Dengan demikian, kami juga berhak menerima calon-calon pimpinan yang berkualitas dan benar serta sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh ketentuan hukum yang memuat asas kepastian hukum.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top