Drone : “Game Changer” Kekuatan Udara TNI AU

JAKARTA, virprom.com – Konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina, serta yang baru-baru ini terjadi antara Iran dan Israel, menjadi awal munculnya drone atau drone dalam peperangan modern. Kehadiran drone saat ini tidak hanya sekedar alat pengawasan saja, namun sudah menjadi alat untuk membantu pihak militer dalam melakukan serangan udara.

Pesatnya penggunaan drone patut dicermati oleh pemerintah dan TNI AU, khususnya dalam membangun kemampuan alat sistem senjata besar (alutsista) untuk menjamin kedaulatan udara NKRI. NKRI).

Dalam penyerangan yang terjadi pada 14 April 2024 itu, tak kurang dari 170 drone, 120 rudal balistik, dan 30 rudal digunakan Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran.

Serangan ini dilakukan setelah Israel diduga menyerang konsulat Iran di Damaskus, Suriah, yang menewaskan 13 orang, termasuk Mayor Jenderal Mohammad Reza Zahed.

Baca juga: Informasi Serangan Iran ke Israel, Tembakkan 300 Drone dan 120 Rudal

Dalam waktu lima jam setelah peluncuran drone, rudal balistik dan rudal jelajah mulai memasuki wilayah udara Israel setelah menempuh jarak sekitar 1.800 kilometer. Untungnya, negara pimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu ini memiliki sistem pertahanan Iron Dome yang diklaim mampu mencegah 99 persen serangan tersebut.

Keberhasilan Israel mencegah serangan itu dan tidak terisolasi dengan bantuan Amerika Serikat, Inggris dan Perancis, yang menembak jatuh rudal dan pesawat ke arah Iran sebelum memasuki perbatasan.

Selain itu, Yordania menembak jatuh beberapa rudal Iran yang memasuki wilayah udaranya.

Israel sendiri mengakui serangan yang oleh IRGC disebut sebagai “Operasi Janji Sejati” itu hanya menimbulkan sedikit kerusakan pada infrastruktur. Meski beberapa laporan media mengindikasikan bahwa beberapa fasilitas militer Israel dihancurkan.

Saluran TV Aljazeera juga melaporkan bahwa serangan itu berhasil di 720 lokasi. Selain itu, suara ledakan juga terdengar di kota-kota Israel termasuk Tel Aviv dan Yerusalem.

Dalam video online yang dibagikan televisi pemerintah Iran, drone yang digunakan adalah model sayap delta yang mirip dengan Shaheed-136. Drone jenis ini juga digunakan Rusia untuk melawan Ukraina.

Shahed-136 atau yang dikenal di Rusia sebagai Geran-2, merupakan pesawat ringan yang dirancang sebagai kendaraan udara tak berawak, juga dikenal sebagai drone atau drone kamikaze.

Drone buatan pabrikan pesawat Iran HESA ini memiliki panjang 3,5 meter dan lebar sayap 2,5 meter. Dengan kecepatan rata-rata 185 kilometer per jam dan berat 200 kilogram, drone ini mampu membawa 36 kilogram bahan peledak dan terbang hingga sejauh 2.500 kilometer.

Selain itu kelebihan drone ini adalah dapat terbang rendah dan sulit dideteksi.

Baca juga: 31 Drone Ukraina Menyerang Berbagai Wilayah Rusia

Saat ini, tentara Ukraina menggunakan drone Bayraktar TB2 buatan Turki yang merupakan kendaraan udara tak berawak (UCAV).

UCAV jarak menengah ketinggian (MALE) dari Baykar, sebuah perusahaan swasta Turki yang berspesialisasi dalam UAV dan kecerdasan buatan (AI), dapat dikendalikan dari jarak jauh atau langsung.

Berbeda dengan Shahed-136 yang memiliki kemampuan kamikaze, Bayraktar TB2 terutama digunakan untuk pengintaian dan pengawasan untuk menemukan musuh, memantau pergerakan mereka, dan mengarahkan tembakan artileri pertahanan ke arah mereka. Jenis drone

Jika melihat dari kedua drone yang digunakan pada dua perang di atas, ada beberapa jenis drone yang perlu Anda ketahui.

Menurut Perjanjian Koordinasi NATO 4670, setidaknya ada tiga jenis sistem drone berdasarkan bobotnya.

Kelas I beratnya di bawah 150 kg, kelas II beratnya antara 150 kg hingga 600 kg, dan kelas III beratnya di atas 600 kg.

Untuk Kelas I, NATO masih membaginya menjadi tiga bagian, yaitu mikro dengan kemampuan terbang hingga 5 kilometer dengan ketinggian hingga 200 kaki, seperti drone Black Hornet.

Lalu ada kelompok kecil yang beratnya kurang dari 15 kg, serta memiliki kemampuan terbang sejauh 25 km dan tinggi hingga 3.000 kaki, seperti pesawat Raven.

Serta rombongan kecil dengan berat 15 kg hingga 150 kg dan kemampuan terbang sejauh 50 km di ketinggian hingga 5.000 kaki, seperti drone ScanEagle.

Sedangkan Class II atau drone strategis memiliki daya tahan sekitar 10 jam dengan jangkauan maksimal 100-200 km. Drone jenis ini juga mampu membawa beban seberat 70 kg dengan kecepatan hingga 200 km per jam.

Secara umum, banyak sekali teknologi yang terdapat pada drone jenis ini, mulai dari sensor elektronik, infra merah, laser, hingga peralatan komunikasi. Selain itu, drone ini dilengkapi dengan sistem kendali rudal.

Drone Kelas II menggunakan sayap tetap sehingga memerlukan landasan yang lebih kecil untuk meluncurkannya. Contoh drone ini adalah Elbit Hermes 450.

Baca juga: Rusia menembak jatuh 17 drone di Ukraina yang menargetkan fasilitas minyak

Saat ini, drone Kelas III biasanya berukuran Medium Long Endurance (MALE) atau High Altitude Long Endurance (HALE) dengan kemampuan terbang selama 24 jam atau lebih.

Selain kedua kategori di atas, drone Kelas III juga menyasar drone (strike/drone war).

Seperti drone Kelas II, drone Kelas III umumnya menggunakan sayap tetap dan dapat beroperasi pada jarak ribuan kilometer atau lebih tergantung pada peralatan komunikasi yang digunakan.

Beberapa contoh drone jenis ini adalah Heron, Global Hawk dan Reaper.

Indonesia sendiri telah mengembangkan drone MALE yaitu Black Eagle dengan spesifikasi tempur yang spesifik. Drone tersebut dikembangkan oleh konsorsium enam lembaga dan PT Dirgantara Indonesia.

Keenam lembaga tersebut adalah Badan Pengkajian Teknik (BPPT), Kementerian Pertahanan, TNI AU, Institut Teknologi Bandung (ITB), PT Dirgantara Indonesia, dan PT LEN Industri (Persero).

Namun penelitian Black Eagle sebagai drone tempur akhirnya terhenti dan drone ini menjadi drone sipil. Pengubah permainan

Dengan perkembangannya, drone dianggap sebagai game changer dalam peperangan modern, khususnya peperangan udara.

Menurut mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal (Purn) Chappy Hakim, faktor penting dalam perang adalah serangan yang terjadi secara tiba-tiba atau tidak terduga.

Insiden Pearl Harbor pada tahun 1941, di mana Angkatan Laut Kekaisaran Jepang (AL) melancarkan serangan kamikaze terhadap Armada Pasifik AS yang berbasis di Pangkalan Angkatan Laut Pearl Harbor, Hawaii, adalah contoh nyata efektivitas serangan.

Enam puluh tahun kemudian, Amerika Serikat menghadapi serangan mendadak lainnya setelah al-Qaeda membajak empat pesawat komersial menuju California pada 11 September 2001.

Baca Juga: Eks KSAU Ungkap 3 Tantangan Terkait Sistem Keamanan Penerbangan Indonesia

Dua di antaranya digunakan untuk menyerang menara kembar World Trade Center (WTC) di New York City. Pesawat ketiga digunakan untuk menyerang Pentagon, sedangkan pesawat keempat jatuh di daerah pedesaan di negara bagian Pennsylvania.

Chappy mengatakan, dalam 20 tahun terakhir, belum ada ide baru untuk meningkatkan teknologi pesawat tempur. Namun drone mengalami hal berbeda, yang menurutnya merupakan bagian dari perang siber.

“Ada disrupsi di perang udara, drone lebih efektif karena di perang siber, mereka punya AI. Dari AI, sebatas sistem satelit. Ini yang terjadi di luar angkasa sekarang orang mengandalkan drone untuk menyerang. kata Chappy dalam wawancara khusus dengan Podcast BRIGADE yang ditayangkan di kanal YouTube virprom.com, Rabu (29/5/2024).

Salah satu kelebihan penggunaan helikopter untuk mengembangkan sistem pertahanan dan serangan adalah harganya yang murah, teknologinya mudah dibuat dan dikembangkan, serta efektivitasnya dalam menyerang wilayah lain, dibandingkan dengan pesawat tempur.

Kepala Pusat Penelitian Ketenagalistrikan Indonesia ini mencontohkan, ketika Amerika Serikat merespons serangan al-Qaeda akibat serangan 11 September, drone berperan penting dalam mensukseskan proyek pribadi tersebut.

CIA, misalnya, mengerahkan MQ-1 Predator, sebuah drone atau kendaraan udara tak berawak (UAV) untuk mencari pemimpin Al Qaeda Osama bin Laden pada Mei 2011. diserang oleh Angkatan Laut AS. Osama bersembunyi sampai dia membunuhnya.

“Saat Amerika menyerang Afghanistan, Suriah karena marah (kepada) al-Qaeda, menyerang dengan drone. Pilotnya berada di Nevada. Mari kita pikirkan bagaimana perkembangan perang akan mempengaruhi sistem keamanan,” ujarnya.

Baca juga: Serangan Israel ke Iran Dimaksudkan Dibatasi

AS kembali menggunakan helikopter untuk mencari loyalis Osama lainnya di tahun-tahun mendatang. Baru-baru ini, Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, memerintahkan penyerangan ke wilayah Kabul Afghanistan setelah beberapa sumber intelijen yakin dia telah mengetahui lokasi pemimpin Al-Qaeda Ayman al-Zawahiri.

Setelah meninjau rutinitas sehari-hari Zawahiri, serangan drone pun digunakan. Dua rudal Jahannama yang ditembakkan berhasil menghantam balkon rumah Zawahiri.

Serangan terhadap Zawahiri pada tahun 2022 hanya membunuh presiden. Pasalnya, rudal model Hellenic R9X yang ditembakkan memiliki skala dan daya ledak karena tidak dipersenjatai sehingga tidak berbahaya.

Penggunaan R9X tentunya mempertimbangkan potensi dampaknya terhadap warga sipil yang tidak bersalah ketika hulu ledaknya digunakan untuk membidik sasaran.

Helikopter merupakan bagian integral dari perang udara. Unik karena bentuk perang udara yang paling berguna adalah serangan mendadak, tentu saja orang yang diserang tiba-tiba menghilang, kata Chappy.

Baca juga: Jokowi Minta TNI-Polri Berani Gunakan Teknologi dan Waspadai Drone

Contoh lain, Presiden Joko Widodo mencontohkan tewasnya Mayor Jenderal Qasem Soleimani, komandan Korps Garda Revolusi Islam di Iran, akibat serangan pesawat tak berawak yang dikendalikan dari jarak jauh.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top