Dokter Asing dan Penyakit Tak Percaya Diri

Geger terjadi di kota medis Indonesia. Sejak Prof. Budi Santoso mendadak diberhentikan sebagai Dekan Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga (Unair).

Dari pemberitaan yang saya ikuti di media, penolakan tersebut menyangkut Prof. Budi Santoso soal rencana Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mendatangkan dokter asing ke Indonesia.

Meski demikian, Unair menyebut pencopotan tersebut merupakan kebijakan internal. Universitas ingin menerapkan tata kelola yang lebih baik untuk memperkuat institusi khususnya di FK Unair.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menilai pemberhentian tersebut merupakan urusan internal. Kementerian Kesehatan tidak memiliki hubungan kelembagaan yang dapat mengganggu perguruan tinggi.

Meski Unair dan Kemenkes sudah melakukan klarifikasi, namun logika masyarakat tak mampu menyembunyikan benang merah antara sikap profesor tersebut dengan rencana menteri mendatangkan dokter asing.

Hubungan antar teks yang digunakan oleh khalayak dengan mudah mengakomodasi tesis yang Prof. Budi Santoso selaku Dekan FK Unair angkat bicara terkait penolakan rencana Menteri Kesehatan mendatangkan dokter asing.

Dari sudut pandang saya, pertanyaan tentang dokter asing itu menarik. Tidak mudah bagi kita untuk keluar dari jebakan budaya masyarakat pascakolonial. Hati-hati dengan ornamen budaya masyarakat pascakolonial.

Saya yakin mereka masing-masing punya data dan interpretasi untuk mendukung pendapatnya. Menkes menilai Indonesia membutuhkan dokter asing, sebaliknya Prof. Budi Santoso dan dokter lainnya. “Xenofobia” dan “Xenofilia”

Bagi masyarakat pascakolonial seperti Indonesia, istilah “asing” tidak lepas dari nilai, kekuasaan, dan kepentingan. Mirip dengan istilah “masyarakat adat” pada zaman kolonial.

Begitu juga dengan turunannya seperti dokter asing, tenaga kerja asing, produk luar negeri, modal asing, dan sebagainya. Itu menjadi beban politik identitas (kebangsaan) dengan segala konsekuensi yang menyertainya.

Dua hal tersembunyi terungkap. Yakni sikap “xenophobia” di satu sisi dan “xenophilia” di sisi lain.

Xenophobia merupakan rasa takut yang berlebihan terhadap hal-hal yang berbau asing, sehingga cenderung menolaknya, cenderung anti. Kesulitan masa lalu sebagai bangsa terjajah juga membingkai hal tersebut.

Sedangkan Xenophilia mengacu pada sikap mengagungkan sesuatu yang disebut asing secara berlebihan, sehingga cenderung meremehkan apa yang ada di dalamnya.

Pengagungan berlebihan terhadap merek asing juga merupakan konstruksi sosial sejak zaman kolonial.

Saya pernah membaca bahwa kedua hal ini mencerminkan penyakit yang mendasari keraguan diri. Tersembunyi dan mempesona, serta berpotensi muncul dalam konteks tertentu beserta kepentingan yang menyertainya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top