Dilema Prabowo Membawa Orang “Toxic”

Menteri Koordinator Kementerian Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengirimkan pesan kepada Presiden terpilih Prabowo Subianto.

“Kepada presiden terpilih (Prabowo Subianto), saya ingin sampaikan: jangan mendatangkan orang-orang jahat ke dalam pemerintahan anda. Karena itu akan sangat berbahaya bagi kami (Indonesia),” kata Luhut dalam Jakarta Futures Forum di Jakarta Hotel JW Marriott (virprom.com 03/05/2024)

Luhut tak merinci lebih jauh soal sosok ‘beracun’ itu.

Istilah “beracun” sering digunakan untuk merujuk pada orang “beracun” yang berdampak negatif pada orang lain. Hal ini sering dikaitkan dengan perilaku egois. Tidak memperdulikan lingkungan sekitar. Yang utama adalah dirinya sendiri. Keinginan dan kemenangannya sendiri

Namun melihat konteks pesan yang mengikuti uraian Luhut tentang sistem digital untuk mengurangi korupsi (virprom.com, 03-05-2024), saya dapat menafsirkan bahwa orang yang “beracun” berarti orang yang tidak menyukainya. Pemerintah menciptakan birokrasi yang bersih dan bebas korupsi.

Saya kira pesan Luhut ini baik untuk Indonesia ke depan, tapi ini tantangan besar bagi Prabowo. politik beracun

Dua pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menarik untuk dibaca dan dikaji Enam menteri ditangkap karena kasus korupsi.

Di antaranya Idras Marham (saat menjabat Menteri Sosial), Imam Nahrawi (saat menjabat Menteri Pemuda dan Olahraga), Ethi Prabowo (saat menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan), Juliari Batubara (merangkap Menteri). masalah sosial)

Dua lainnya adalah Johnny G. Plate (saat menjabat Menteri Komunikasi dan Informatika) dan Syahrul Yasin Limpo (saat menjabat Menteri Pertanian).

Semua menjadi kader partai politik (parpol). Wajar jika partai politik mendukung pemerintah.

Tidak mungkin partai politik oposisi mendapat jabatan menteri. Oleh karena itu, kecil kemungkinan terjadinya korupsi. Masalahnya, apa yang salah dengan partai politik dan pemerintahan kita?

Era reformasi menawarkan harapan sejati bagi pemerintahan yang bersih, demokratis, dan bebas korupsi. Namun ternyata ruang politik tidak ada gunanya.

Sistem dan institusi politik telah berubah, namun perubahannya belum signifikan. Sistem dan institusi politik menjadi lebih kompleks. Namun belum ada kemajuan signifikan yang dicapai. Jelas, produk-produk tersebut tidak berubah. “Politik beracun” yang ditinggalkan penguasa orde baru (Orba).

Saya juga sengaja (terinspirasi) menggunakan kata “toxic” – menyebutnya sebagai “toxic politic” – untuk merujuk pada kebijakan-kebijakan “toxic” yang melemahkan kapasitas sistem dan institusi politik. Mewujudkan pemerintahan demokratis yang bersih dan bebas korupsi.

Politik seperti itulah yang menggerogoti tatanan baru. Sayang sekali. Namun kami terus mempertahankannya. Sehingga terkesan sedang terjadi reformasi yang disebut dengan “partisipasi” (penunjukan Geertz tidak lepas dari korupsi. Malah pemerintah makin gila). Baik dari segi nilai maupun metodenya

Pemerintahan Orde Baru dalam tiga dekade terakhir belum memberikan ruang bagi partai politik untuk berfungsi maksimal. Partai politik terlibat dalam pergerakan yang terbatas dan tidak menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya dalam negara demokrasi.

Konsekuensinya sangat serius. Kelompok kepemimpinan politik tidak diatur. Partai politik merasa tidak perlu memiliki sekelompok pemimpin politik yang benar-benar memahami tugasnya di negara demokrasi. Perintah baru tidak diperlukan karena para pemimpin politik mempersiapkannya dari jalur lain.

Politik dengan demikian kehilangan esensinya. dan menyimpang dari esensinya. Politik terjadi tanpa nilai. Jauh dari apa yang seharusnya didukung dan didukung oleh akal sehat dan hati nurani.

Pemilu hanyalah ritual pemungutan suara yang tidak ada artinya. Pemilu dirancang tidak lebih dari sekedar ritual untuk melanggengkan kekuasaan, korupsi, kolusi. dan nepotisme (KKN) semakin meluas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top