Como 1907: Klub Italia, Pernyataan “Maaf” Gaya Pejabat Indonesia

Permintaan maaf berasal dari kata Yunani “apologia” yang berarti “apo”- (“jauh dari”) dan “logia” (logos yang berarti “berkhotbah”).

Penjelasannya, “permintaan maaf” berarti pembelaan secara tertulis atau lisan dari seseorang yang menjelaskan sesuatu yang diyakini orang lain salah.

Pada abad ke-16, permintaan maaf atau “apologetic” akan lebih sering ditulis atau diucapkan, seperti “telah terjadi kesalahan” (pasif) atau “jika ada yang tersinggung, saya minta maaf” (bersyarat).

Secara historis, “permintaan maaf” tidak secara langsung diartikan sebagai kata atau tindakan permintaan maaf, apalagi penyesalan.

Seiring berkembangnya peradaban dan bertambahnya jumlah penduduk dunia (global village), peran “permintaan maaf” berubah menjadi ungkapan penyesalan yang semakin meningkat untuk memperbaiki hubungan antara dua pihak atau lebih.

Aaron Lazare, seorang profesor psikologi di Fakultas Kedokteran Universitas Massachusetts, mengatakan penggunaan kata “maaf” telah meningkat pesat sejak akhir Perang Dunia II.

Ketika puluhan juta orang tewas dan terluka dalam perang tersebut, banyak negara yang terlibat meminta maaf atas kekejaman yang terjadi.

Seiring berjalannya waktu, permintaan maaf tidak lagi dianggap sebagai kelemahan, melainkan sebagai tanda peradaban, bahkan sebuah tindakan keberanian.

Banyak orang atau kelompok yang meminta maaf atas diskriminasi suku, ras, agama, dan perempuan di masa lalu. Hal ini menandakan bahwa cara pandang manusia lebih luas dan terbuka terhadap berbagai aspek kehidupan.

Menurut Aaron Lazar yang mengulas 2.000 pesan permintaan maaf, ada dua jenis permintaan maaf, permintaan maaf yang tulus (maaf) dan permintaan maaf empatik (emphatic apologies).

Contoh permintaan maaf yang tulus: “Saya minta maaf karena saya kurang hati-hati membiarkan pelecehan verbal Pak A terjadi.” Permintaan maaf khusus atas masalah yang bermasalah ini.

Contoh permintaan maaf simpatik: “Kami mengecam dan prihatin atas kejadian yang menimpa salah satu anggota tim sepak bola A. Ini bukan kami.” Kita tidak perlu membicarakan peristiwa atau isu spesifik yang dimaksud, akui saja bahwa hal tersebut berperan dalam peristiwa tersebut.

Sayangnya, para pejabat Indonesia tampaknya menggunakan permintaan maaf yang simpatik pada saat terjadi krisis atau dugaan melakukan kesalahan, ketika sebagian besar bukti, emosi, dan intelijen mendukung permintaan maaf yang tulus. Mirwan Suwarso dan rasisme terhadap Hwang Hee-chan

Ferdy Sambo, Arteria Dahlan, dan Arya Wedakara menunjukkan betapa permintaan maaf dari pejabat dan perwakilan masyarakat di Indonesia bisa sangat problematis.

Mirwan Suwarso, perwakilan Como 1907 dan Djarum Group (pemilik klub), asal Indonesia, pun membuktikannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top