Buru-buru Revisi UU di Masa “Bebek Lumpuh”

Memasuki periode “lame duck” pada tahun 2019-2024, DPRK mempercepat pembahasan beberapa rancangan undang-undang yang memiliki kepentingan strategis dan luas.

Salah satunya adalah RUU Mahkamah Konstitusi yang dilaksanakan secara tertutup dan tidak mengalami perubahan materiil yang berdampak sistemik.

Pembahasannya dilakukan secara terburu-buru untuk menarik perhatian publik, sehingga memungkinkan lahirnya produk hukum yang dapat berujung pada pasal-pasal kontroversial, prosedur formal yang tidak teratur, dan kurangnya transparansi yang dapat berujung pada peninjauan dan pembatalan konstitusi. Produktif selama periode “bebek lumpuh”.

Masa jabatan terakhir parlemen atau pemerintahan disebut fenomena “lame assembly”.

Ini adalah masa transisi di lembaga legislatif dan pemerintahan, dimana anggota dan penggantinya dipilih, dan di sisi lain, anggota Parlemen saat ini berpendapat bahwa masa pemilihan umum telah berlalu dan inilah saatnya untuk melakukan perubahan. kondisi.

Menurut Jack M. Beerman dan William P. Marshall, “Hukum Tata Negara dalam Transisi Presidensial”, “Paralelisme” terjadi ketika pemilihan umum berakhir dan Presiden saat ini tetap memegang jabatannya meskipun sudah tidak menjabat lagi. terpilih. Mereka memegang jabatan sampai akhir masa jabatannya.

Pejabat yang masih menjabat sedang memasuki masa ketimpangan.

Istilah bebek domba pertama kali digunakan di Inggris pada abad ke-18 untuk menyebut pengusaha bangkrut yang dianggap “timpang” seperti burung yang terluka karena tembakan.

Pada tahun 1830-an, masa jabatannya diperluas kepada pejabat yang masa jabatannya diketahui.

Sementara contoh lainnya, di Amerika Serikat, penerus presiden dianggap “timpang” setelah terpilih dan tidak bisa mencalonkan diri kembali pada pemilu berikutnya.

Fenomena “lame duck” di Indonesia ditandai dengan meningkatnya produktivitas undang-undang parlemen dan proses penyusunannya yang kontroversial.

Masa transisi yang tertunda lama ini kemungkinan besar akan dijadikan celah oleh para elit politik untuk mengejar kepentingan politik tertentu yang tidak ambisius dan tidak berpihak pada kepentingan rakyat.

DPRK harus konsisten menerapkan produktivitas legislatif yang tinggi dalam 5 tahun terakhir pemerintahannya mulai tahun 2019 hingga 2024.

Berdasarkan dokumen Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI), dari 47 RUU yang masuk dalam Master Plan 2024, jika dilihat satu tahun ke belakang, sejauh ini baru satu undang-undang yang berhasil disahkan, yakni revisi UU Kawasan Khusus Jakarta. , satu undang-undang yang masuk dalam Daftar Kumulatif Terbuka, yaitu revisi UU Desa, disahkan.

Fakta bahwa tidak ada rancangan undang-undang di antara proyek-proyek prioritas yang disetujui pada tahun 2024 menunjukkan bahwa aktivitas legislatif DPRK tidak mencukupi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top