Beda Harga Langganan Starlink Indonesia Vs Amerika Serikat

virprom.com – Layanan Internet Starlink sedang menjadi perbincangan hangat di Indonesia. Starlink menyediakan internet berkecepatan tinggi melalui koneksi satelit.

Diperkirakan, harga layanan dan perangkat keras Starlink yang lebih murah bisa mematikan para pemain komersial operator telekomunikasi lokal.

Hal itu diungkapkan Sekretaris Jenderal Asosiasi Satelit Seluruh Indonesia (ASSI) Sigit Jatiputro dalam Focus Group Discussion (FGD) di kantor Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Jakarta, Rabu (29/5/2024).

Bahkan dalam pembahasannya, harga Starlink di Indonesia dinilai lebih murah dibandingkan di negara asalnya, Amerika Serikat (AS). Lalu bagaimana perbandingan harga Starlink di Indonesia dan Amerika?

Pantauan KompasTek pada Sabtu (6/1/2024) harga berlangganan termurah adalah Rp 750 ribu per bulan, yakni untuk paket Residential, belum termasuk perlengkapan pendukung layanan.

Sedangkan harga alat penunjangnya Rp 7,8 juta, namun kini hingga 10 Juni 2024 mendapat diskon 40 persen menjadi Rp 4,68 juta.

Harga ini lebih murah dibandingkan harga Starlink di AS. Harga paket yang sama adalah 120 dollar AS (sekitar Rp 1,9 juta) per bulan di Amerika Serikat, dengan harga perangkat pendukung 599 dollar AS (sekitar Rp 9,7 juta).

Starlink juga menawarkan paket lain bernama paket Bisnis, dengan harga berlangganan bulanan mulai dari Rp 1,1 juta. Harga perlengkapan pendukungnya sama dengan paket Residence yaitu Rp 7,8 juta. Sekali lagi harganya lebih murah dibandingkan di Amerika.

Baca juga: Starlink Bisa Bikin Pertahanan Indonesia Buta dan Tuli

Di Negeri Paman Sam, paket Starlink Business mulai dari 140 dollar AS (sekitar Rp 2,2 juta) per bulan. Perangkat pendukungnya dibanderol dengan harga 2.500 dollar AS (sekitar Rp 40 juta).

Perbandingan harga paket berlangganan Starlink termurah di Indonesia dan Amerika dapat dilihat pada tabel berikut yang dihimpun KompasTekno di situs resmi Starlink. Harga Paket di Indonesia Harga di Amerika Serikat Personal-Home

Rp 750.000 per bulan

Perangkat keras 7,8 juta

120 dollar AS (sekitar Rp 1,9 juta) per bulan

Hardware 599 dollar AS (sekitar Rp 9,7 juta) Lokasi Business suite

Rp 1,1 juta per bulan

Perangkat keras R$

140 dollar AS (sekitar Rp 2,2 juta) per bulan

Perangkat Keras 2.500 dolar AS (sekitar Rp 40 juta) Ancaman terhadap pemasok VSAT lokal

Selain lebih murah dibandingkan harga AS, menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Satelit Seluruh Indonesia (ASSI) Sigit Jatiputro, harga Starlink juga lebih murah dibandingkan layanan VSAT lokal.

Harga salah satu layanan VSAT lokal MangoeSky misalnya, paling murah yakni Rp 3,6 juta. Oleh karena itu, harga Starlink yang lebih murah ini tentunya akan berdampak pada bisnis VSAT lokal di Indonesia.

“Menurut saya, penjualan pemain Indonesia yang ada di segmen VSAT akan menurun, meski Starlink baru masuk ke Indonesia 1-2 minggu. Harga yang rendah ini membuat pemain yang ada tidak akan bisa berkembang,” kata Sigit. pada acara Focus Group Discussion yang diselenggarakan Komisi Komersial dan Persaingan Usaha (KPPU) di Jakarta pada Rabu (29/5/2024).

Sigit tidak merinci kapan Starlink bisa mengancam bisnis VSAT lokal, atau mungkin penyedia layanan Internet serat optik. Namun, hal ini bisa terjadi ketika Starlink mulai memperluas kapasitas internet satelitnya.

Sigit juga memperkirakan pemain VSAT dalam negeri kemungkinan akan menurun pada tahun depan.

“Jika suatu saat Starlink memperluas kapasitas satelitnya, bisnis ISP atau VSAT lokal mungkin tidak akan bertahan, dan Starlink mungkin tidak hanya digunakan di daerah terpencil tetapi juga di perkotaan. Namun, dominasi Starlink di masa depan tidak dapat diprediksi secara pasti,” jelas Sigit. . Penetapan harga predator diduga terjadi

Karena harganya yang murah, ada kekhawatiran Starlink terlibat dalam praktik predatory pricing, seperti menjual produk dengan harga yang sangat murah. Lebih lanjut, ia juga khawatir perbedaan harga yang besar akan membuat iklim bisnis internet di Indonesia menjadi tidak sehat.

Dugaan ini terungkap terutama setelah Starlink memberikan diskon harga perangkat sebesar 40% hingga 10 Juni 2024.

Namun, menurut Anggota Komisi Persaingan Usaha dan Komersial (KPPU) Hilman Pujana, apa yang dilakukan Starlink di Indonesia belum tentu dicap sebagai predatory pricing.

Karena itu, kata dia, banyak persyaratan yang harus dipenuhi agar KPPU dapat mengklasifikasikan kesepakatan sebagai price gaming, dan Starlink dinilai tidak memenuhi persyaratan tersebut.

“Dari sudut pandang praktis, predatory pricing membutuhkan sebuah proses, dan tidak hanya berbicara tentang ‘orang menjual lebih murah’. Konsepnya tidak begitu, ada beberapa syarat sebelum bisa disebut predatory pricing,” kata Hilman saat ditemui KompasTekno di Acara Fócas Group Discussion yang digelar KPPU di Jakarta, Rabu (29/5/2024).

“Artinya, Anda perlu berhati-hati dalam menggunakan istilah predatory pricing. Jangan langsung menuduh harga murah sebagai predatory pricing,” kata Hilman.

Hilman tidak menyebutkan kondisi atau faktor apa pun yang mengindikasikan suatu perusahaan melakukan aktivitas predatory pricing.

Dalam kesempatan yang sama, Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Ine Minara menjelaskan, aktivitas predatory pricing harus dibuktikan melalui berbagai pengujian.

Baca juga: Pemerintah Indonesia harus mendorong Starlink untuk membangun NAP, bukan NOC

Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan menganalisis proses bisnis dan aktivitas suatu perusahaan dalam jangka waktu tertentu.

“Penetapan harga predator mengacu pada penetapan harga dengan tujuan menghilangkan pesaing. Hal ini diterapkan untuk memonopoli pasar hingga seluruh pesaing tersingkir, namun setelah itu perusahaan harus mampu menutupi kerugian yang ditimbulkan selama periode predatory pricing, kata Ine di acara yang sama.

Ine melanjutkan, potongan harga yang diterapkan Starlink di Indonesia saat ini bukan merupakan tanda predatory pricing.

“Diskon Starlink ini ada batas waktunya sampai 10 Juni 2024. Nah ini bukan predator, kalau predator akan memainkan permainan harga dalam jangka waktu tidak terbatas, sampai pesaing tersingkir,” kata Ine. Konflik tautan bintang

Tim kuasa hukum PT Starlink Services Indonesia, Krishna Vesa dan Verry Iskandar menegaskan, predatory pricing tidak termasuk dalam harga jual Starlink di Indonesia.

Predatory pricing sendiri merupakan strategi untuk menetapkan harga yang rendah, untuk menyingkirkan pelaku usaha lain yang menjadi pesaing. “Kami membenarkan dan menyangkal tidak ada unsur predatory pricing,” kata Verry dalam sesi rooftop yang dihadiri KompasTekno. Dengarkan berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponsel Anda. Pilih saluran berita favorit Anda untuk mengakses saluran WhatsApp virprom.com: https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan Anda telah menginstal aplikasi WhatsApp.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top