Awas RUU Polri! Ruang Digital dalam Cengkeraman Aparat

Beberapa bulan terakhir ini saya merasakan deja vu. Seperti pada tahun 2019, ketika banyak peraturan perundang-undangan yang bermasalah – terutama UU KPK dan RKUHP – diperdebatkan oleh DPR dan didukung oleh pemerintah.

Baru-baru ini, setelah meluasnya penolakan terhadap RUU Penyiaran, DPR tiba-tiba menyetujui perubahan ketiga UU No. 325 Tahun 2012 mulai tahun 2008 sampai dengan 28 Mei. DPR Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri) akan dibahas sebagai sebuah inisiatif.

Pada 8 Juli 2024, DPR mengaku menerima surat Presiden (kejutan). Bahkan, Presiden Joko Widodo pun mengamini agar DRC segera membahas RUU ini.

Tiba-tiba, keputusan ini mendapat kritik dari para pembela hak asasi manusia dan pendukung demokrasi.

Kekhawatiran muncul karena RUU Polri yang beredar memuat perluasan kewenangan kepolisian secara besar-besaran.

Sementara itu, tidak ada pasal mengenai penguatan mekanisme pengawasan terhadap lembaga yang kurang dipercaya masyarakat.

Salah satu konsekuensi yang paling mungkin terjadi jika RUU ini disahkan tanpa adanya perubahan signifikan terhadap RUU yang ada saat ini adalah polisi akan semakin menguasai ruang digital.

Menurut saya, setidaknya ada empat hal yang bisa dimanfaatkan polisi untuk “mengambil alih” ruang digital. Alih-alih memberikan rasa aman kepada masyarakat, pasal-pasal tersebut justru berpotensi melanggar hak digital warga negara (hak asasi manusia di dunia digital). Legalitas Pengawasan Massal (Mass Surveillance)

Pertama, Pasal 14(1), yang memperbolehkan polisi melakukan “pengarahan, pengendalian, dan keamanan” di ruang digital.

Artikel ini mungkin dibuat untuk menjawab tantangan era yang semakin digital. Sebagian besar aktivitas dari ruang fisik telah berpindah ke ruang virtual, termasuk kejahatan.

Oleh karena itu, polisi harus diberdayakan untuk mengembangkan, memantau dan melindungi ruang digital.

Namun sayangnya tata letak artikel ini sangat kabur. Tidak ada definisi tentang “komando, kendali dan keamanan”.

Adanya klausul tersebut tentunya dapat dimaklumi jika dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada kepolisian dalam melakukan pengawasan terhadap seseorang atau kelompok yang diduga melakukan pelanggaran hukum.

Namun, tanpa definisi dan batasan yang jelas, pasal tersebut juga dapat disalahgunakan untuk melakukan pengawasan massal.

Bibit pengawasan massal sudah terlihat dengan diluncurkannya program Virtual Police pada tahun 2021. Dalam aplikasi tersebut, polisi memantau aktivitas pengguna media sosial dan memperingatkan mereka yang kontennya dianggap melanggar UU ITE.

Sekitar enam minggu setelah rilis awal, setidaknya 200 netizen telah diperingatkan oleh polisi.

Meski polisi mengklaim upaya tersebut untuk mengurangi kejahatan dengan menggunakan UU ITE yang bermasalah, namun tindakan polisi tersebut nyatanya juga sama bermasalahnya.

Peringatan polisi dapat menimbulkan rasa takut untuk berbicara pada orang yang menerima peringatan tersebut. Padahal, konten tersebut belum tentu melanggar UU ITE karena harus dibuktikan terlebih dahulu melalui penetapan pengadilan.

Netizen lebih pendiam dalam berekspresi karena merasa diawasi 24/7 oleh aparat penegak hukum. Takut untuk bersuara karena khawatir melanggar hukum juga dikenal sebagai pengaruh rasa takut.

Selain itu, pengawasan massal – apa pun alasannya – tentu saja bertentangan dengan tiga kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu negara ketika berupaya membatasi hak asasi manusia. Pengawasan massal pada dasarnya melanggar prinsip proporsionalitas dalam uji tiga bagian.

Tindakan ini tidak hanya akan membatasi hak privasi orang-orang yang diduga melanggar hukum, tetapi juga seluruh pengguna Internet yang tidak melakukan pelanggaran apa pun. Ancaman pelanggaran privasi secara massal

Kedua, Pasal 14(1) memberikan kewenangan kepada polisi untuk melakukan penyadapan.

Sebagaimana halnya dengan pasal pengawasan, apabila penyadapan yang dimaksud dalam pasal ini dilakukan dengan tujuan untuk menyelidiki pelanggaran hukum tertentu, maka keberadaan pasal penyadapan ini dapat dipahami dengan jelas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top