Anarki Laut China Selatan dan Urgensi Strategi “Zero Conflict”

Mengingat meningkatnya sengketa wilayah di Laut Cina Selatan, Penasihat Keamanan Nasional Filipina Eduardo Año menyarankan agar diplomat Tiongkok segera meninggalkan negara tersebut.

Jika seruan ini benar-benar dibuat oleh pemerintah Filipina, hal ini dapat menyebabkan konfrontasi yang lebih serius dengan Tiongkok di masa depan, sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya konflik besar.

Usulan pengusiran diplomat Tiongkok ini muncul setelah bocornya percakapan telepon antara perwira senior angkatan laut Filipina dan diplomat negara Tirai Bambu mengenai penyelesaian di Laut Cina Selatan.

Selama ini aktivitas militer dan non-militer Tiongkok di Laut Cina Selatan dinilai semakin intens sehingga mengakibatkan Tiongkok semakin terlibat dalam konflik di perairan bersama Asia Tenggara (khususnya dengan Filipina dan Vietnam).

Selain itu, Tiongkok semakin banyak membangun pulau buatan yang digunakan sebagai pangkalan militer di perairan tersebut.

Selain itu, provokasi strategis AS kemungkinan besar akan mengubah Laut Cina Selatan menjadi arena persaingan geopolitik “Perang Dingin baru” antara AS dan Tiongkok.

Sebagai wilayah yang memiliki cadangan minyak dan gas yang besar serta berpotensi menjadi jalur perdagangan global, Laut Cina Selatan merupakan salah satu perairan internasional dan berpotensi menimbulkan perluasan konflik dengan beberapa negara, termasuk Indonesia, di masa mendatang. ,

Dalam hal pelaksanaan hak kedaulatan, titik panas utama Indonesia dalam konflik ini adalah wilayah Laut Natuna Utara yang merupakan bagian dari zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia sesuai dengan ratifikasi konvensi PBB. Hukum Laut (UNCLOS) 1982.

Namun klaim Tiongkok atas sembilan garis putus-putus bersejarah berdasarkan peta tahun 1947 membuat Negeri Tirai Bambu kerap berkonflik dengan negara-negara di sekitar perairan Asia Tenggara seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia. Pengecualian.

Selain batas wilayah yang tidak jelas, sehingga berpotensi lebih besar untuk melakukan tindakan terhadap kapal asing, klaim Tiongkok terhadap sembilan garis putus-putus menyiratkan pelaksanaan hak kedaulatan yang semula diatur oleh aturan hukum internasional, namun justru berbentuk anarki (tidak ada aturan).

Percikan pertama konflik antara Indonesia dan Tiongkok di perairan Natuna Utara meletus pada tahun 2016. Saat itu, TNI Angkatan Laut menangkap kapal ikan Han Tan Jau 19.038 berbendera China dengan tuduhan melakukan penangkapan ikan ilegal.

Sebelumnya, dua kapal nelayan Tiongkok kedapatan melakukan hal serupa di sekitar Laut Natuna Utara yang diklaim sebagai tempat penangkapan ikan tradisional nelayan Tiongkok.

Sadar akan semakin banyaknya kapal asing di perairan tersebut, pada tahun 2018 Indonesia mulai memperkuat pelaksanaan latihan tempur TNI dan pendirian pangkalan militer di Natuna.

Konflik mencapai puncaknya pada tahun 2021, ketika Indonesia mulai melakukan pengeboran minyak di perairan Natuna bagian utara.

Sejak awal kegiatan pengeboran, kapal-kapal TNI Angkatan Laut dan Tiongkok tercatat beberapa kali saling membayangi di sekitar lokasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top