Pentingnya Keanggotaan Indonesia di BRICS

Virdika Rizky Utama dalam artikel virprom.com tanggal 25 Oktober 2024 berjudul “Keseimbangan Indonesia di Tengah Ambisi BRICS” mengusulkan agar Indonesia menciptakan forum yang kompetitif daripada lebih aktif terlibat dan terjebak anggotanya di antara rival ekonomi BRICS. -blok politik antara Barat dan Timur tidak konstruktif.

Menurutnya, keanggotaan Indonesia di BRICS memberikan politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Negara-negara BRICS dipandang hanya sebagai wahana kepentingan geopolitik Tiongkok dan Rusia. Saya tidak setuju dengan argumen ini karena beberapa alasan.

Sebelumnya, Indonesia terkesan unilateral tanpa menjadi bagian dari kelompok tersebut. Selama ini kerja sama Indonesia, khususnya di bidang militer, lebih erat dengan Amerika Serikat (AS).

Frekuensi latihan gabungan intensif antara Indonesia dengan Rusia atau China hampir jarang terjadi.

Portal informasi Indonesia menyebutkan kerja sama militer Indonesia dengan Amerika Serikat melalui program Garuda Shield telah berlangsung sejak tahun 2009.

Bahkan, menurut Kementerian Pertahanan, terdapat sekitar 6.000 peserta, baik personel Kementerian Pertahanan maupun perwira TNI, yang bersekolah di sekolah perwira Amerika sejak tahun 1967 (Kemhan.go.id, 8/8/2024). ).

Artinya, alasan mengapa keanggotaan Indonesia di BRICS dapat merusak netralitas yang selama ini terjaga adalah tidak masuk akal.

Menurut saya, hal ini justru merupakan bentuk strategi lindung nilai bagi Indonesia untuk menghadapi ketidakpastian geopolitik di masa depan.

Rasionalisasinya sangat sederhana, meskipun Indonesia bergabung dengan BRICS, Indonesia tetap menjadi anggota lembaga multilateral yang dipimpin oleh Barat. Indonesia tidak mengurungkan niatnya untuk mengakhiri hubungan dengan Barat.

Faktanya, Indonesia masih bekerja keras untuk bergabung dengan OECD, Asosiasi Kerjasama Ekonomi Negara-Negara Maju.

Hal tersebut tertuang dalam siaran pers yang dikeluarkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia pada 30 Mei 2024 bertajuk “Pemerintah terus memaksimalkan proses integrasi OECD.”

Sekali lagi, aksesi Indonesia yang masih dalam tahap awal – hanya sebagai mitra BRICS (belum menjadi anggota penuh) – merupakan bentuk menutup risiko tertentu, dibandingkan mengalah (pilihan bentuk aliansi) dengan Rusia atau Cina.

Hedging hanyalah sebuah strategi penyeimbang yang digunakan oleh negara-negara kecil dan menengah untuk berdiri di antara dua negara adidaya yang bersaing (lihat The Essence of Hedging: Malaysia and Singapore’s Response to a Rising China, Kuik Cheng-Chwee, 2008).

Posisinya berada di antara strategi berkendara jalur di satu sisi dan keseimbangan di sisi lain. Tujuannya agar pilihan strategis yang ada dapat memperluas pilihan politik dan tidak bias atau didikte oleh kekuatan tertentu.

Sehingga Indonesia dapat lebih leluasa menggunakan kekuatan negosiasi antar masing-masing negara untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan nasionalnya.

Dengan bergabungnya Indonesia sebagai negara BRICS, Indonesia akan mempunyai banyak peluang untuk pilihan strategisnya, baik secara ekonomi maupun politik. Indonesia tidak lagi bergantung pada Barat.

Bayangkan jika Indonesia hanya punya pilihan terbatas dan AS langsung memberlakukan embargo militer, dan hal itu pernah terjadi sebelumnya.

Selain itu, Indonesia juga mengalami krisis ekonomi dan terpaksa menganut “Konsensus Washington” yang pahit. Tidak ada pilihan lain selain menuruti perintah Amerika Serikat saat itu.

Peluang ini mungkin muncul di masa depan. Pilihan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS dapat menjadi salah satu alternatif strategi untuk menghadapi kondisi yang tidak menentu dan niat yang tidak menentu di kalangan peserta kancah politik global, termasuk pengalaman pahit di masa lalu.

Semakin banyak Indonesia bergabung dengan berbagai lembaga multilateral, semakin terbuka pilihan dan peluangnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top