Sudahkah Benar-benar Berbicara dengan Orang Papua?

Jika kita menengok ke belakang dan berpikir dengan hati ikhlas dan murni tentang sejarah Papua dan mengapa sampai saat ini urusan Papua belum terselesaikan, saya yakin kita akan sangat memahami dan paham bahwa hampir tidak ada resolusi dan tidak ada politik. Saat ini Papua diambil alih dan masyarakat Papua diajak bicara.

Keputusan dan kebijakan nasional tentang Papua diambil di wilayah non-Papua.

Hal ini didasari oleh arogansi “ke-Jakartaan” yang sepihak dan semangat bahwa orang-orang pintar di Jakarta lebih mengetahui kondisi dan kebutuhan masyarakat Papua dibandingkan masyarakat Papua sendiri.

Maka muncullah berbagai model “rekayasa politik dan sosial”, melalui struktur kekuasaan yang karakternya tidak berubah sejak zaman kolonial.

Dengan demikian, penyelesaian Papua yang tak kunjung tuntas menghambat dua hal besar, yakni mentalitas yang memandang Papua hanya sepihak dan praktik pemerintahan top-down yang tidak pernah berubah.

Keputusan mengusut urusan Papua Barat di luar Perjanjian Meja Bundar 1949 misalnya, merupakan keputusan bersama antara Kolonial (Belanda) dan Jakarta (Negara Baru Merdeka).

Jakarta menegaskan Papua harus menjadi bagian dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), padahal Bung Hatta, sang penyiar sendiri, berpendapat bahwa Papua tidak boleh menjadi bagian dari NKRI. alasan rasial. perbedaan.

Namun Bung Hatta saat itu sedang sendirian sehingga harus menerima pandangan sebagian besar elite di Batavia bahwa Papua adalah wilayah jajahan Belanda yang harus diintegrasikan ke dalam NKRI.

Pada saat yang sama, Belanda masih menganggap Papua Barat sebagai tanah kolonial yang harus mereka lindungi karena investasi yang mereka lakukan di sana dan prospek kekayaan Papua yang tidak terbatas di tanah Papua.

Seperti yang dikatakan dengan baik oleh Greg Pulgrain, “JFK vs Allen Dulles. Battleground Indonesia”, Belanda dan faksi tertentu di CIA; Staf Allen Dulles mengetahui hasil penelitian potensi emas di Papua, sehingga Belanda menolak memasukkan Papua Barat dalam Perjanjian Meja Bundar dan sebaliknya izin Amerika untuk menanggapinya. secara geopolitik dan geoekonomi sudah sangat jelas.

Namun secara teknis, kenyataannya masyarakat Papua tidak diajak membicarakan nasib daerahnya saat itu.

Baik Jakarta maupun Amsterdam berada dalam paradigma kolonial dimana mereka merasakan hak dan tanggung jawab yang sama untuk menguasai Papua dan kemudian berencana membangun Papua berdasarkan parameter yang dibuat di luar Papua, tanpa berbicara dengan masyarakat Papua.

Kemudian keputusan untuk mengintegrasikan Papua ke dalam NKRI secara militer tidak menemukan akhir yang diinginkan, dan bukan merupakan hasil pembicaraan “dari hati ke hati” dengan masyarakat Papua.

Keputusan ini lahir dari Jakarta, atas kemauan Jakarta, dan ternyata untuk Jakarta. Dimulainya operasi militer untuk memerdekakan Papua, itulah pandangan Jakarta terhadap masalah Papua saat itu.

Apakah masyarakat Papua benar-benar ingin merdeka, atau tetap berada di pihak “barat” atau malah dibiarkan saja, belum ada yang mengujinya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top