Ancaman Perang di Selat Taiwan dan Tantangan Diplomasi Indonesia

Pekan lalu, Presiden Taiwan Lai Ching-te mengatakan bahwa Tiongkok dan Taiwan tidak saling mengontrol, dan hanya rakyat Taiwan yang dapat menentukan nasib negaranya.

Pengumuman tersebut memicu respons keras dari Beijing yang kemudian melakukan latihan militer besar-besaran, “Pedang Gabungan 2024B,” sebagai peringatan kepada Taiwan agar tidak melanggar deklarasi kemerdekaan.

Latihan militer tersebut dilakukan di enam titik di perairan sekitar Taiwan, dan menunjukkan kesiapan Tiongkok untuk mencegah uji coba apa pun yang dapat merusak situasi yang telah dilakukan selama bertahun-tahun.

Status quo antara Taiwan dan Tiongkok telah lama menjadi tolak ukur situasi keamanan di kawasan Asia Timur. Tiongkok tidak menyerang secara langsung, meski Taiwan tidak mendeklarasikan kemerdekaannya.

Namun keseimbangan ini terancam berubah, terutama ketika ada tindakan politik atau militer dari masing-masing pihak yang merasa terancam oleh pihak lain.

Ketegangan terkini ini menunjukkan bahwa ancaman konflik di Selat Taiwan masih terus meningkat dan dapat berdampak serius bagi kawasan dan dunia.

Ketegangan di Selat Taiwan tidak hanya menjadi kekhawatiran Taiwan dan Tiongkok, namun juga dunia internasional, khususnya negara-negara yang mengandalkan perdagangan dari kawasan ini.

Selat Taiwan merupakan salah satu jalur pelayaran terbesar di dunia dengan nilai perdagangan yang besar.

Selain itu, Taiwan adalah produsen chip terkemuka di dunia, yang penting bagi banyak industri, termasuk teknologi informasi, otomotif, dan peralatan rumah tangga.

Jika terjadi konflik, pasokan chip dunia akan sangat terpengaruh dan berujung pada krisis global di banyak bidang.

Kerugian ekonomi akibat perang di Selat Taiwan mencapai sekitar sepuluh triliun dolar AS, sehingga banyak negara bersedia mencegah konflik menjadi lebih lama.

Indonesia sebagai negara besar di Asia Tenggara juga mempunyai kekhawatiran tersendiri. Selain hambatan perdagangan di negara-negara ASEAN yang dianggap sebagai hambatan perdagangan di Selat Taiwan, Indonesia juga memiliki ratusan ribu warga negara yang bekerja di Taiwan.

Skenario terburuknya, ketika krisis di Selat Taiwan berujung konflik, Indonesia harus menyiapkan evakuasi massal untuk melindungi warganya.

Situasi ini mengingatkan kita pada krisis Taiwan pada tahun 2022, ketika kunjungan Presiden Amerika Serikat Nancy Pelosi hampir memicu konflik besar antara Tiongkok dan Amerika Serikat.

Situasi ini menjadi peringatan bahwa kemungkinan terjadinya perang di kawasan ini bukannya tidak mungkin terjadi, namun merupakan ancaman nyata yang perlu diwaspadai.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top