Media di Indonesia Harus Mengatasi Disrupsi Digital Sekaligus Melawan Otoritarianisme

JAKARTA, virprom.com – Media di Indonesia sebagai pilar keempat demokrasi kini menghadapi dua tantangan yang sangat berat. Pertama, disrupsi digital mengancam fondasi dunia usaha. Kedua, kecenderungan menguatnya otoritarianisme yang mengancam keselamatan jurnalis dan kepentingan publik.

Demikian refleksi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada perayaan HUT ke-30 di Gedung Usmar Ismail, Jakarta, Jumat (9/8/2024). Dalam perayaan tersebut, AJI mengundang pakar hukum tata negara Bivitri Susanti untuk menyampaikan pidato budaya.

Ketua Umum AJI Indonesia Nani Afrida mengatakan disrupsi digital membuat banyak media tidak mampu bertahan dan terpaksa menutup usahanya.

Baca Juga: Demo Tolak Uji UU Penyiaran, AJI Tegaskan Jurnalisme Investigasi Tak Berdampak Buruk

Mereka yang masih bertahan berada dalam kesulitan bisnis yang serius karena berusaha mematuhi kode etik jurnalistik. Pekerjaan jurnalistik yang dilakukan dengan sungguh-sungguh sesuai kode etik kurang berpengaruh dibandingkan informasi yang disebarluaskan oleh influencer yang tidak terikat kode etik.

Di tengah disrupsi yang mengancam eksistensinya, di saat yang sama, media harus berperan melawan tren menguatnya otoritarianisme di Tanah Air.

“Dari sisi hukum, ada berbagai rancangan undang-undang (RUU) seperti RUU Kepolisian dan masih banyak lainnya. Fleksibelnya pasal-pasal dalam RUU ini membuat kerja jurnalis semakin sulit,” ujarnya.

Menurut Nani, media di Indonesia harus mencari cara untuk bertahan guna memenuhi tugasnya melindungi kepentingan publik dan demokrasi.

Baca Juga: Kajian UU Penyiaran Ditolak, AJI: Ini Skenario Besar Melemahkan Demokrasi Media dan Masih Diperlukan

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Pers Ninik Raheyu mengatakan kehidupan pers saat ini memiliki tantangan yang sistemik dan sangat berbeda dengan 30 tahun lalu.

“Di era digital, jurnalisme harus terlibat dengan produk digital di media sosial yang seolah-olah menyampaikan kebenaran,” ujarnya.

Menurut Ninick, peran jurnalis masih diperlukan karena influencer media sosial dan YouTuber kurang memiliki ketajaman kritis untuk menggali kedalaman informasi yang dimiliki jurnalis.

Sayangnya, pemerintah lebih memilih influencer dibandingkan jurnalis, kata Ninick.

Dia meminta pemerintah tidak menghalangi jurnalis mencari informasi untuk membuat berita kritis.

Baca Juga: AJI Jakarta, PWI dan Organisasi Pers Demo di DPR Hari Ini, Tuntut Tinjauan UU Penyiaran Dihentikan

Hal serupa juga disampaikan Bivitri dalam pidato budayanya. Ia menegaskan, jurnalis dan karya jurnalistiknya memiliki peran yang tidak tergantikan dalam menjaga demokrasi di Indonesia.

Oleh karena itu, dia berharap dalam kegaduhan ini para jurnalis tidak kehilangan sikap kritisnya.

“Jurnalis, aktivis, dan akademisi adalah pilar pendukung demokrasi yang rentan melakukan kekerasan ketika kualitas demokrasi menurun. Mari kita lawan,” kata Bivitri. Dengarkan berita terkini dan kumpulan berita langsung di ponsel Anda. Pilih saluran berita favorit Anda untuk mengakses saluran WhatsApp virprom.com: https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan aplikasi WhatsApp sudah terinstal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top