Mengingat Lagi RUU Perampasan Aset yang Belasan Tahun Tak Kunjung Disahkan DPR RI

JAKARTA, virprom.com – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Pidana (RUU) menjadi undang-undang periode 2019-2024.

Padahal, RUU Penalti Aset Pidana telah dirumuskan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang, tepatnya pada tahun 2008.

Sebenarnya, RUU tersebut sudah diajukan ke undang-undang negara pada awal tahun 2012. Namun, bertahun-tahun telah berlalu dan permintaan tersebut belum juga dilaksanakan.

UU Penghapusan Harta Pidana baru saja masuk dalam daftar Inisiatif Legislatif Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR RI 2023.

Baca Juga: Tanggal Berakhir Masa Kerja, DPR 2019-2024 Akan Berakhir Setelah 3 RUU Penting…

RUU tersebut diajukan sebagai usulan Pemerintah. Mulanya, pada tahun 2021, PPATK meminta RUU tersebut segera disahkan.

UU Perampasan Aset Pidana adalah undang-undang yang dirancang untuk melacak hasil kejahatan, bukan pelakunya.

Berdasarkan RUU tersebut, aset ilegal dapat disita tanpa menunggu keputusan pidana yang memuat keterangan pidana dan hukuman bagi pelakunya.

Dalam RUU tersebut juga diatur mengenai penyitaan terhadap seluruh harta kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana dan harta kekayaan lainnya yang diduga dipergunakan atau dijadikan empat sarana untuk menimbulkan tindak pidana. Partai Demokrat mendesak pemerintah mengeluarkan perintah presiden

Pada 29 Maret 2023, RUU Perampasan Aset Pidana kembali muncul saat ini Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) masih membawahi Mahfoud, RUU tersebut disebutkan dalam rapat dengan Komite Ketiga. DPR RI.

Baca juga: Antara Tekanan dan Waktu, Mengapa RUU Demokrat Sulit Disahkan?

Di sana, Mahfoud meminta kepada Panitia III DPR RI yang Ketuanya Bambang Wuryanto atau Bambang Pacul mendukung pengesahan RUU tersebut.

Sebab, undang-undang ini dinilai akan memudahkan pemerintah dalam memberantas korupsi.

Sejumlah anggota Komite Ketiga DPR RI juga mendesak pemerintah mengirimkan surat presiden (surpres), naskah akademis, dan contoh RUU tentang penyitaan aset pidana untuk dibahas di badan hukum (Baleg).

Anggota Komite III DPR RI antara lain Arsul Sani dan Hinca Panjaitan. Mereka mengaku tak ingin ada politisi yang dinilai enggan membahas RUU tersebut.

Baru pada tanggal 4 Mei 2023, pemerintah menerbitkan Surat Presiden kepada DPR RI tentang Undang-Undang tentang Pemidanaan Harta Pidana.

Sayangnya RUU tersebut baru dibahas pada Rapat Umum DPR RI terakhir pada hari ini, Senin (30/9/2024).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top