Haji, Negara, dan Partisipasi Publik

Pada tahun 1445 musim haji Hijriah memasuki fase akhir dengan selesainya ibadah haji ke puncak Al-Muzna (Arafah, Muzdalifah dan Mina).

Banyak rombongan dan skuadron terbang yang secara bertahap dikirim ke Indonesia dan masyarakat lain yang tergabung dalam gelombang kedua mulai didorong untuk memasuki kota Madinah untuk melakukan kegiatan ziarah dan masih banyak ritual lainnya.

Faktanya, beberapa langkah diterapkan sepanjang tahun oleh pemerintah nasional dan internasional serta pemangku kepentingan masyarakat untuk menyukseskan festival Muslim tahunan ini.

Tenaga dan dana yang dibutuhkan pun tidak sedikit. Seluruh unit di tanah air bekerja sama untuk memastikan penyelenggaraan haji yang berkualitas.

Dari sudut pandang ini, pantaslah jika dikatakan bahwa haji merupakan proyek bersama antara umat Islam dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Oleh karena itu, upaya yang bertujuan untuk mendiskreditkan individu dan lembaga serta mengalihkan tanggung jawab kepada pihak tertentu bertentangan dengan semangat perencanaan nasional dan solidaritas yang mewujudkan aspirasi kolektif masyarakat.

Kesadaran tersebut nyatanya kini diperlukan untuk memastikan proses penyelenggaraan ibadah haji tahun 1445 Hijriah terlaksana dengan baik dan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. keberadaan suatu bangsa

Keberadaan negara diperlukan untuk menjamin kelangsungan operasional nasional, termasuk penyelenggaraan haji.

Hal ini sejalan dengan kewajiban konstitusional negara untuk menjamin kebebasan seluruh warga negara untuk memeluk agama dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya (Pasal 29 ayat (2) UUD).

Dalam kaitan ini, haji merupakan bagian dari wujud atau ekspresi Islam, oleh karena itu negara harus hadir di sana.

Partisipasi dalam proses penyelenggaraan ibadah haji dan lebih tepatnya tanggung jawab negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.

Pasal 10 UU tersebut menyatakan bahwa penyelenggaraan ibadah haji reguler menjadi tanggung jawab pemerintah dan diselenggarakan oleh Menteri Agama.

Selanjutnya pemenuhan tanggung jawab tersebut dilakukan di tingkat daerah, pusat, dan melalui satuan kerja struktural tetap di Arab Saudi.

Dari sini terlihat bahwa Kementerian Agama telah menjalankan tugas konstitusionalnya. Artinya, sebagai komponen kunci dalam penyelenggaraan ibadah haji yang aman, nyaman, tertib, dan sesuai syariah bagi umat Islam Indonesia.

Sebagai wakil negara, Kementerian Agama telah dan terus menjalankan misinya sebagai penyelenggara dan pengatur ibadah haji, namun lebih dari itu, banyak implementasi peraturan terkait yang harus tetap berjalan. Menuju Penyelenggaraan Ibadah Haji di Indonesia.

Penyelenggaraan haji melibatkan dua aspek secara bersamaan: agama dan negara. Visi ini digagas dan diwujudkan sepenuhnya oleh para founding fathers bangsa kita.

Sejak tahun 1950, pemerintah telah memulai kemitraan dalam pengembangan ibadah haji di tanah air. Meski Wahid Hajim menekankan kewenangan pemerintah sebagai penyelenggara ibadah haji di Indonesia, namun nyatanya sinergi dan kerja sama tetap dibangun dengan elemen masyarakat, khususnya Yayasan Pariwisata Ziarah Indonesia (YPHI).

Kerja sama antara Departemen Agama dan YPHI dilaksanakan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia (RIS) tanggal 6 Februari 1950, Surat Edaran Menteri Agama No. AIII/1 . /648 tanggal 9 Februari 1950, dan Keputusan Dewan Menteri RIS pada rapatnya tanggal 8 Februari 1950.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top