Soroti Vonis Achsanul Qosasi, Wakil Ketua KPK: Korupsi Rp 40 M, Hukumannya 2,5 Tahun

JAKARTA, virprom.com – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwada menyoroti dakwaan dan ringan hukuman yang dijatuhkan kepada Achanul Kosasi, anggota III Badan Pemeriksa Keuangan (PPK) nonaktif.

Achanul merupakan salah satu terdakwa dalam skema korupsi penyediaan infrastruktur Base Transceiver Station (PTS) 4G, termasuk mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Piring disertakan.

Dalam kasus ini, Alex menyebut Achanul didakwa menerima suap sebesar Rp40 miliar untuk mempengaruhi hasil pemeriksaan proyek 4G-BTS.

Namun dakwaan dan hukuman terhadap Achanul dinilai terlalu ringan.

“Kemarin kita diperlihatkan salah satu anggota PPK terlibat korupsi Rp 40 miliar, berapa yang dikenakan selama 5 tahun?” Apa putusannya? 2,5 tahun,” kata Alex dalam diskusi di Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (21 Juni 2024).

Baca Juga: Pengurangan hukuman Achanul Khosazi disebut sebagai alarm dalam pemberantasan korupsi

Masyarakat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) bersama Transparency International Indonesia (TII) menggelar diskusi dengan topik calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Alex mengatakan, jika kasus tersebut ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Achanul yakin Jaksa Penuntut Umum (JPU) Badan Pemberantasan Korupsi tidak akan dituntut hanya lima tahun saja.

Kasus Achanul sedang ditangani Kejaksaan.

Diakui Alex, prosedur pembuktian dalam persidangan Achanul tidak berjalan dengan baik. Namun menurut Alex, terdakwa divonis minimal empat tahun penjara hanya karena kepuasannya saja.

Mantan hakim Pengadilan Tipikor ini juga mempertanyakan perbedaan jumlah tuntutan terhadap Blade dan Achanul.

Politisi Partai Nastem itu divonis bersalah dan divonis 15 tahun penjara.

“Dia bilang: Esainya beda Pak Alex? Tapi itu masih rangkaian acara. “Ya, tapi tidak apa-apa,” kata Alex.

Baca Juga: Achanul Khosazi divonis 2,5 tahun penjara dan diperintahkan membayar ganti rugi Rp 40 miliar

Menurut Alex, Indonesia memiliki tiga lembaga pemberantasan korupsi, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan Agung, dan Polri.

Hal ini diduga menyebabkan perbedaan standar dan kualitas penanganan kasus.

Posisi ini berbeda dengan negara lain seperti Singapura, yang kewenangan pemberantasan korupsi sepenuhnya berada di tangan Biro Investigasi Praktik Korupsi (CPIB), Komisi Anti Korupsi Malaysia (MACC), dan Komisi Independen Anti Korupsi Hong Kong (ICAC). .

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top