Tren Calon Tunggal Pilkada 2024 Diprediksi Meningkat, Degradasi Demokrasi?

JAKARTA, virprom.com – Peristiwa satu orang melawan kotak kosong semakin meningkat sejak ditetapkannya Pemilihan Ketua Daerah (Pilkada) 2015 hingga 2024.

Hal tersebut terungkap dari data yang dimiliki Visi Nusantara Maju (Vinus) Indonesia. Pada Pilkada 2015, hanya ada satu pasangan (paslon). Kemudian pada tahun 2017 berjumlah sembilan single.

Kemudian, pada Pilkada 2018, terdapat 13 pasangan calon yang belum menikah. Pada Pilkada 2024 diperkirakan akan ada 25 pasangan tunggal.

Artinya pasangan lajang terpilih terus bertambah dari pilkada ke pilkada, kata pendiri Vinus Indonesia Jusfitriadi dalam diskusi bertema “Kotak kosong dimana-mana oligarki Pestapora”, dikutip dari YouTube Forum kanal Vinus, Jumat. (9/8/2024).

Baca Juga: Parpol Berusaha Usung Fauzi-Imam di Pilkada Sumenep, Potensi Satu Kandidat Makin Menguat

Ia juga menilai kemunculan salah satu kelompok dari dua orang tersebut merupakan alasan yang dipaksakan, bukan karena wajar atau tidak ada calon yang diberikan oleh partai politik (parpol).

“Tanda-tandanya menunjukkan bahwa itu bersifat koersif, memaksa partai politik untuk setuju dengan otoritas besar, tidak memaksakan statistik meskipun statistik tersebut memiliki kualifikasi. Ini menghancurkan sistem demokrasi. Ini seperti kembali ke 20 tahun demokrasi sebelum hal itu terjadi. .

Jusfitriadi mengatakan, gelagat dua calon itu terlihat pada Pilkada di Sumatera Utara (Sumut) dan bisa digelar di Jawa Barat dan Jakarta.

Oleh karena itu, ia berpendapat demokrasi tidak bisa dihancurkan dari luar. Sebaliknya, justru dihancurkan secara internal oleh partai politik.

“Kalau ini terjadi, bukan demokrasi yang dihancurkan dari luar, tapi partai politik dan kekuasaanlah yang tidak membuat demokrasi maju,” ujarnya.

Baca Juga: Tak Ada Box Event di Pilkada 2024 dan Rusaknya Demokrasi Era Jokowi

Hal serupa disampaikan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPRR) Rendi NS Umboh. Menurutnya, fenomena kotak kosong yang paling besar adalah bentuk demokrasi.

Meski begitu, kata dia, tidak ada salahnya menghadirkan beberapa orang dalam pilkada, karena hal itu sudah diatur undang-undang. Namun tampilannya juga harus natural.

Undang-undang tersebut juga menyinggung soal aliansi partai politik setelah dua calon yang tidak ikut serta dalam Pilkada 2024 akan bertarung pada 2029.

“Pilkada 2024 akan menentukan hasil pemilu 2029. Informasi yang ada menunjukkan alur birokrasi kabupaten/kota efektif dalam menghidupkan pemilu,” kata Reti.

“Untuk memenangkan pemilu 2029, fokusnya adalah memenangkan kepala daerah. Jadi karena parpol memilih daerah, maka pecahkan saja asal kuat. Jadi menurut kami kemungkinan kotak kosong semakin besar. banyak,” katanya.

Baca Juga: Kasus Pilkada Jakarta: Dari Tanpa Kotak Oposisi Menjadi Oposisi Independen? Demokrasi tidak langsung

Sementara itu, Direktur Pengawasan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jojo Rohi khawatir sistem demokrasi langsung akan berubah menjadi demokrasi tidak langsung seiring dengan semakin banyaknya lajang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top